Dua puluh menit penuh aku duduk di sudut kantin tempat bimbel. Karena gugup yang sulit kusembunyikan, sejak tadi kedua kaki ini rasanya tidak mau berhenti bergerak. Setiap beberapa menit sekali aku memperhatikan lahan parkir motor yang bisa langsung terlihat jelas dari sini meski jaraknya yang tidak begitu dekat. Orang yang aku tunggu belum kunjung datang.
Langit masih mendung sekali. Nyaris seperti jam enam sore, padahal jam tanganku masih menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Pikiranku sudah berkeliaran kemana-mana. Apa hanya aku yang terlalu menganggap ini serius? Atau ia tidak jadi datang ke sini? Atau mungkin lupa? Aku merasa perlu bertanya keberadaannya sekarang sekedar untuk meyakinkan. Kutarik tas sekolahku yang asalnya tergeletak di kursi lain. Merogoh isinya mencari ponselku yang belum kugunakan semenjak sampai di tempat ini. Tanpa perlu di cari, namanya berada di posisi kedua dalam deretan kolom pesan setelah Hassya.
Aku: Eh, kamu jadi ke sini?
Aku melihat lagi pesan yang baru kuketik. Geli sendiri membacanya. Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menghapus lagi isi pesan tersebut
Aku: Val, masih lama?
" Ih, bego lo, Na. Kesannya kayak yang ngarep banget dia kesini. Engga, engga. Ganti lagi "
Aku: Hey, kamu lagi dimana?
" Gapapa kali ya? Bodo ah bodo " Dengan takut aku memencet tombol kirim dengan sebelah mata tertutup dan langsung mematikan layar ponselku. Aku mengetuk-ngetuk salah satu jariku di atas meja menunggu pesan balasan yang masuk.
" Loh, Na? Belum balik lo? "
Sasa, Akmal dan Dafa yang baru muncul dari arah lobby.
" Hehehe, belum, Sa. Nunggu di jemput juga " Sahutku. Ia mengangguk mengerti dan menempati salah satu sofa bersama kedua teman kami yang lainnya.
" Sini, Na. Hobi amat nyendiri gitu lo " Akmal menunjuk bagian sofa yang masih kosong di sebelah Sasa dengan dagunya sambil meneguk sebotol minuman dingin.
" Gapapa di sini aja. Lagi nunggu temen "
" Ohhh, ada yang udah nemu pengganti Si cowo absurd itu toh " Daffa memandangku jahil dilanjut tawa dari yang lainnya.
" Apaan coba. Ini juga gue ketemu mau ngomelin dia, ada masalah sama pacarnya susah amat diajak baikan duluan "
Tinggg...
Aku kembali menatap layar ponselku yang baru saja berbunyi. Menekan notifikasi pesan yang dari tadi belum kututup.
Reval: Aduh, Na. Gue masih kejebak macet deket Griya Buahbatu. Tapi gue bawa kebut kok ini.
Aku menatap sekilas pesan darinya. Penasaran, aku beranjak keluar membiarkan rintik gerimis membasahi sedikit jaketu saat melihat keadaan jalan di dekat lampu merah yang tak jauh dari sini. Perasaan lancar-lancar aja di situ, macet di mananya?
Kuputuskan untuk kembali masuk ke dalam dan menunggu lagi di tempat yang sama.
Aku: Oh? Gapapa gak perlu ngebut, masih ada temen juga di sini
Sent!
Sesuatu sempat terpikirkan di dalam otakku. Aku mencari nama Thaya di daftar nama Line. Ketemu! Aku memencet tombol telfon yang tertera di bagian atas ruang pesan.
" Halo? " Suaranya yang cenderung tinggi dan polos terdengar dari ujung sana.
" Halo, Ya? Tadi kamu pulang di daerah Griya emang mendet-mendet ya jalannya? "
" Hah? Engga ah, kosong melompong. Tumben banget sih lancar, biasanya sih kalo lagi ujan kayak gini emang macet terus "
Kan, bener enggak macet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Setelah Hujan
Non-FictionSetiap rintik hujan adalah tangisku. Setiap gemuruh adalah amarah pada semesta yang sembunyi di balik awan hitamku. Aku nyaris lupa rasanya hangat, tenang, damai, dan bahagia rupanya seperti apa. Hatiku hampir benar-benar beku. Sampai senja kala itu...