Jurnal Empat

53 0 0
                                    

Esok harinya sekolah berjalan seperti biasa. Kamis minggu ini cuacanya lumayan panas sehingga menuntutku untuk tetap berada di kelas dengan speaker bluetooth miniku yang belakangan ini sering di bawa saat ingin menonton film atau sekedar mendengarkan lagu di waktu luang. Sepulang sekolah, aku dan ketiga teman bimbel; Sasa, Akmal, dan Dafa bertemu di depan kelas mereka di lantai dasar sekolah. Berjalan bersama menuju kelas kami di bimbel. Sudah sejak beberapa waktu lalu aku mulai akrab dengan mereka yang karib dari tahun sebelumnya. Ka Narti yang lebih dulu sampai di kelas langsung menyuruh kami untuk mengerjakan soal yang ada di dalam modul.

Sejauh ini aku belum banyak bercerita pada Hassya yang kurasa sepemikiran dan nyaman untuk diajak berdiskusi tentang hal pribadi seperti ini. Tentang mood swings dan penyebabnya yang kualami, ia mengerti. Jadi rasanya aku perlu cerita tentang yang satu ini pula. Jam di dinding kelas sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, sebuah pesan masuk membuat layar ponselku menyala dengan sendirinya.

Reval: Halo!

Reval: Aduh maaf banget yah baru bisa ngabarin lagi, tadi pulsa gue abis, Na. Ini juga baru buka laptop, Hehe.

Emang gue siapanya dia perlu dia kabarin?

Aku: Santai aja kali, kayak ngabarin ke siapa aja. Bilangnya ke Selma lah, kenapa jadi ke aku.

Reval: Engga ah, ga penting. Udah pusing nanggepinnya.

Aku: Kamu tuh ya, kalo ada masalah tuh ya beresin baik-baik. Kok sama aja ngejahatin dia ngabarin orang lain tapi ke dia engga.

Reval: Dianya yang jahat, aku sih anak baik-baik bisa ngaji rajin sholat dan bersedekah.

Aku: Kok? Maksudnya jahat gimana?

" Sana pergi kalian semua minggat dari kelas, syuh-syuh " Kak Narti segera menghapus coretan yang
ia tulis di papan yang tergantung di tembok saat bel berbunyi. Semua berhamburan keluar kelas da murid yang baru saja akan belajar langaung disambut teriakan Kak Narti yang cempreng.

Pulang dengan badan yang lelah tak karuan dan mata yang sudah berat rasanya ingin cepat-cepat berbaring di bantal yang dingin. Awalnya hanya berniat mengistirahatkan kedua mataku sebentar, tapi rupanya aku terbangun saat mobil baru terparkir di garasi rumah. Ponsel yang masih kugenggam menunjukkan banyak pesan masuk dari Reval yang aku yakin sedang kelimpungan menunggu pesannya di balas. Aku meminta maaf karena tertidur sepanjang jalan. Sebelum menyambut kasurku yang masih tertata rapi, aku membersihkan semua badan dan menyiapkan seragam serta buku yang perlu aku bawa esok hari. Mengingat mungkin besok aku akan secara resmi bertemu dan mungkin berbicara secara langsung dengannya, aku membawa zipper army kesayanganku ke dalam tas. Kembali ke kasur dengan muka yang sudah kulembabkan dan sepasang piama membaluti badan. Meraih laptop yang sehari-hari aku gunakan untuk menonton film atau sekedar mendengarkan lagu. Aku memutar lagu yang belakangan ini sering di dengar, Pelangi milik HiVi. Dengan antusias aku membuka ruang pesanku dengan Hassya. Keputusanku untuk menceritakan semuanya tentang Reval sudah bulat. Bagaimana bisa kami pertama kali bertemu, bagaimana aku menghadapi posisiku diantara Selma dan Reval yang, sebetulnya masih memiliki hubungan.

Hassya: Ya, you could either make it or even break it. Kalo untung ya, bisa aja kalian lanjut, kalo enggak ya, kamu bakal cepet ketemu ujungnya.

Hassya: Tapi jujur, gue masih mikir Reval juga gimana-gimana tetep salah. Di luar karena dia udah ga akur sama si Selma itu, tapi coba kita ada di posisi dia.

Belum sempat membalas, sebuah notifikasi muncul lagi dari sisi atas layar. Reval mengajakku mengobrol via telfon. Aku panik setengah mati. Sudah sekian lama aku belum pernah melakukan ini lagi. Degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Dengan hati-hati aku berlatih menyapanya saat mengangkat telfon. Halo, hai, hey! Argh gimanaaa! Sedetik kemudian, Ponselku berdering menunjukkan nama Reval di sana. Aku membuang nafas secara kasar dan meloud speaker panggilan telfonnya.

Jurnal Setelah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang