Buuugg!
" Hhhh... Sampe kasur juga lo, Na "
Badanku menyentuh dinginnya permukaan selimut. Sejak sampai di rumah dan langsung membersihkan diri, aku masih terus memikirkan hal yang macam-macam. Tentang resiko yang akan aku ambil di kemudian hari kalau memang firasatku tentang perasaan Reval padaku itu benar menjadi yang sulit untuk berhepplnti dipikirkan.
Aku sulit untuk jatuh cinta. Tapi lebih sulit lagi kalau aku harus jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya pada orang yang salah lagi. Aku harap kalian sudah mengerti mengapa sampai sebegitu cuek dan sulitnya aku untuk diajak akrab dengan teman laki-laki yang sedang dekat denganku. Aku hanya terlalu takut, bahkan untuk alasan yang tidak jelas sekalipun. Percayalah semua yang aku lakukan, setiap keputusan yang aku ambil, semuanya hanya bertitik pada satu alasan yang sama.
" Kakak, makan dulu sini! " Sebuah suara yang nyaris nyaring dari arah ruang tamu mengganggu.
" Enggak, Bun. Kakak gak laper! " Balasku sedikit berteriak mengimbangi suara televisi yang menyala di luar.
Triiiing.. Triiiing.. Triiiing..
Dengan terpaksa aku bangkit malas dari kasur meraih ponselku dari atas meja belajar.
Reval?
Click!
" Halo? " Suara khasnya yang tak begitu datar dan jelas memulai pembicaraan dari seberang sana.
" Eh, hehehe. Hai? "
Aku yang merasa kikuk kembali berusaha menyembunyikan senyum lebar yang tiba-tiba terlekuk saat mendengar suara Reval. Dengan sedikit buru-buru aku melempar tubuhku kembali dengan guling yang kupeluk sambil memainkan ujung rendanya.
" Ganggu enggak? " Dari ujung sana terdengar pula nada bicara yang canggung namun bisa kupastikan Reval tersenyum juga.
" Enggak, santai aja. Kenapa? "
" Gapapa sih, hehehe bosen " Fix, dia juga sama gugupnya denganku.
" Tumben " Lalu hening sejenak.
" Aku baru putusin Salma, Na "
" Hah?! "
Aku menjauhkan ponselku dari telinga dan masih bisa terdengar suara Reval yang sedang berbicara namun tak bisa kutangkap omongam nya dari jauh. Melihat sebentar kolom status di Line nya juga memang sudah tidak ada nama Selma lagi sih di sana.
" Lo- loh, kapan? Kenapa? "
" Kok malah kamu yang panik sih? " Kalimatnya diakhiri tawa.
" Ya bukan, kan aku kira kamu tadi sore bercanda. Gimana ceritanya? Dianya gapapa? "
" Hish, gitu ya. Malah mikirin Selma. Kan, dia yang gak bener " Suaranya terdengar sedikit memelas.
" Yaaa, gitu lah, aku udah ajakin dia udahin aja semuanya, aku gamblangin juga salahnya dia apa aja. Dia nanya ' tapi masih bisa jadi temen kan? ' Ya, aku iya-iyain aja biar cepet "
Mendengar penjelasannya perasaan bersalahku muncul lagi. Aku tidak mau dijadikan alasan kenapa Reval menyudahi hubungannya dengan Selma. Atau aku yang menganggap diriku sendiri sebagai alasan mereka putus padahal bukan? Apa kata orang nanti? Aku lebih merasa bersalah lagi karena tak bisa kupungkiri aku memang merasa sedikit lega dia akhirnya memutuskan untuk mengambil keputusan nya mendadak karena aku yang mulai terbawa perasaan.
" Na? Halo? "
" Eh? Hah? Kenapa? "
" Hish, kirain kemana. Ya udah, aku tutup ya? Kasian nanti kuping kamu panas, Hahaha "
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Setelah Hujan
Non-FictionSetiap rintik hujan adalah tangisku. Setiap gemuruh adalah amarah pada semesta yang sembunyi di balik awan hitamku. Aku nyaris lupa rasanya hangat, tenang, damai, dan bahagia rupanya seperti apa. Hatiku hampir benar-benar beku. Sampai senja kala itu...