Reval: Tadinya mau nawarin foto. Aku mau ngajak foto, lagi butuh model.
Kok dia ngomongnya aku kamu-an sih?
Aku: Kok ngajak gue? Ada Selma kan.
Reval: Ya engga apa-apa sih. Soalnya kata Rara kamu emang suka modelling juga kan?
Aku: Lo tuh lagi ribut sama Selma lagi, ya?
Reval: Hidih, tau dari mana?
Aku: Dari tutor bimbel, sama dari temen-temen gue yang suka gossipin pacar lo.
Selang beberapa menit, pesan baru masuk kembali.
Reval: Kayak kenal, tapi sebenernya engga kenal aja gimana, kebayang engga?
Aku: Misalnya?
Reval: Selma jadiin aku pilihan keduanya. Orang yang dulu selalu dia tolak, baru dia kejar balik waktu orangnya udah nyerah. Bego kan?
Aku: Klisenya, lo di mata dia sebatas pelampiasan?
Percakapan itu belum berhenti di sana. Masih berlanjut jauh dari awal sapaan. Aku tahu banyak tentang hubungan mereka sekarang. Aku paham betul rasanya ada di posisi Reval. Semua saran yang kuberikan padanya memang karena aku senang mendengar cerita dari banyak sudut pandang. Aku tidak begitu pandai memberi saran, tapi aku rasa, aku cukup baik dalam mendengar dan membuat orang lain nyaman untuk bercerita. Aku sadar betapa pentingnya membagi beban yang menimpa diri sendiri pada orang yang kita percaya. Aku menyesal dulu belum paham betapa buruknya membiarkan semuanya terbebani pada diri sendiri, dan menganggap bahwa itu bukan masalah yang serius. Tapi setidaknya kini aku berusaha semampuku agar orang lain tidak merasakan posisiku dulu seperti apa. Apalagi setelah tahu dan paham latar belakang Reval sebelumnya. Dengan deretan perempuan yang sempat ia sayangi. Semuanya sama-sama menyepelekan posisinya.
Baik laki-laki maupun perempuan, muda bahkan tua sekalipun, aku selalu membenci kata 'menyepelekan' dan menjatuhkan harga diri orang lain. Mendengar mereka diperlakukan hal semacamnya sama saja seperti mendengar isak tangisku setiap malam beberapa bulan yang lalu. Dipermalukan di depan banyak orang, diteriaki, ditunjuk-tunjuk dan disepelekan sifat maupun karyaku bukan hal yang asing lagi dulu.
Semenjak itu, aku mengerti seberapa pentingnya dorongan dari orang-orang terdekat. Bukannya turut menjatuhkan bahkan hanya menyarakannya untuk bersabar. Padahal jelas, pasti ada yang bisa kita lakukan. Oleh karena itu, terimakasih pada kamu yang entah ada di mana sekarang, yang mengenalkanku pada sakit, kecewa, namun mengenalkanku juga pada arti tangguh dan banyak hal lainnya. Aku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Tanpa luka yang kamu buat, mungkin aku hanya pandai menangis menyalahkan keadaan.
Banyak yang kami bicarakan. Hingga aku tak sadar bahwa perasaan mengganjal itu menghilang begitu saja. Sampai pada akhirnya,
Reval: Ya udah, Jum'at aku jemput di sekolah kamu ya. Mau ngmongin detail photoshootnya.
Reval: Pulang siang kan?
Hah? Gila kali ya ni anak? Ya kali gue di jemput cowok orang, kenalan juga belum dua puluh empat jam.
Aku: Engga, engga. Gak usah. Gue kan bisa tinggal jalan ke tempat bimbel astaga.
Reval: Temenin aku makan. Aku jemput jam dua di gerbang sekolah.
Reval: Gak pake acara kabur-kaburan!
Napas dalam terhembus dari mulutku sambil menutup ruang pesan dari Reval. Membaringkan tubuhku di bantal lalu membenamkan wajahku dengan bantal lainnya.Rasanya tidak tenang. Aku ingin segera memberi tahu Pagi, Diona, Talitha dan yang lainnya soal laki-laki ini. Namun aku tahu persis jawaban yang akan mereka beri pasti tak jauh menyuruhku agar jaga jarak terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Setelah Hujan
Non-FictionSetiap rintik hujan adalah tangisku. Setiap gemuruh adalah amarah pada semesta yang sembunyi di balik awan hitamku. Aku nyaris lupa rasanya hangat, tenang, damai, dan bahagia rupanya seperti apa. Hatiku hampir benar-benar beku. Sampai senja kala itu...