8. Perusak Hubungan Orang

776 147 37
                                    

Sekarang, tahun 2009

“Kila, ayo sini! Buruan, nanti nggak kebagian tempat di belakang.”

Shakila mengikuti ajakan Kristi untuk berbaris di sebelahnya. Upacara bendera pagi hari ini akan dimulai sebentar lagi. Terlihat anak-anak paduan suara dari kelas lain yang ditugaskan untuk upacara pekan ini sedang berbaris sesuai urutan tinggi badan serta tim pengibar bendera yang didominasi anak ekskul paskib sedang membenahi letak puntiran tali di tiang bendera. Pagar depan sekolah sudah ditutup, sehingga anak-anak yang datang terlambat dipastikan tidak bisa masuk sekolah.

Biasanya, setelah selesai upacara mereka bakal digiring ke lapangan untuk menerima hukuman. Anak-anak cowok disuruh lari tiga putaran lapangan upacara, sedangkan anak cewek cuma sekali putaran. Lalu mereka dijemur dengan cara memberi hormat ke arah bendera selama lima belas menit sebelum diizinkan masuk kelas. Pada saat itu, jam pertama pelajaran tentu telah berjalan setengah periode. Hal yang paling mengerikan adalah, berapa guru mata pelajaran ada yang tidak mengizinkan mereka masuk sebelum pelajaran selesai, sehingga mereka tertinggal jauh. Oleh karena itu, banyak anak selalu takut jika datang terlambat di hari Senin.

Dari kejauhan, Shakila melihat sosok anak perempuan mungil berdiri di luar pagar, sedang memohon-mohon untuk diizinkan masuk, karena ia hanya terlambat kurang dari lima menit. Tetapi satpam sekolah yang terkenal jauh lebih disiplin dari wakasek kesiswaan karena konon beliau adalah pensiunan TNI, menolak mentah-mentah rayuan tersebut. Shakila mengenali sosok itu meski jarak mereka lebih dari tiga puluh meter. Bagaimana tidak, Shakila sudah tumbuh bersama dengannya sejak mereka masih sama-sama kecil. Masa pubertas tak membuatnya banyak berubah, kecuali ukuran dada dan lingkar pinggulnya yang semakin berlekuk seperti wanita dewasa.

Anak perempuan itu Nala, pacar Giandra. Atau begitulah yang Shakila masih yakini sampai sekarang. Dari yang Shakila ketahui sejauh ini, Nala dan Giandra itu seperti belahan jiwa. Mereka sangat cocok dan saling melengkapi. Nala selalu menempel pada Giandra sebagai satu-satunya sistem pendukung di kehidupannya yang berantakan, sedangkan Giandra memberikan Nala kebebasan untuk menjadi diri sepenuhnya,  meski yang ia lakukan mengganggu orang lain, dalam hal ini Shakila dan Valerie.

“Lihat deh, Nala telat tuh,” terdengar bisik-bisik dari anak perempuan dari kelas IPS yang berada di sebelah barisan kelas Shakila. “Mana cewek sendiri pula yang dateng telat. Nggak malu, ya.”

Mendengar nama seseorang yang dia kenal disebut-sebut membuat Shakila penasaran dengan tampang-tampang anak IPS teman sekelas Nala. Shakila dan Nala masuk di jurusan berbeda saat menginjak kelas 11. Shakila di kelas IPA sedangkan Nala IPS. Waktu kelas 10 pun secara kebetulan mereka tidak pernah sekelas, karena Shakila di kelas 10-1 sedangkan Nala di kelas paling buncit, 10-10. Baru di kelas 11 mereka terbagi dalam 11 IPA 1-4, 11 IPS 1-4, serta 11 Bahasa 1-2. Alasan utama Shakila sekolah di SMA ini meski nilai UN-nya jauh dari cukup untuk bisa mendaratkan Shakila di salah satu SMA kompleks, hanya karena sekolah ini almamater orang tuanya serta teman-teman reuni mereka. Selain itu, jaraknya dekat rumah, jadi Shakila tidak perlu berangkat pagi-pagi betul agar tidak terlambat.

“Dia sih emang kebiasaan sering dateng telat,” cibir anak perempuan berkulit sawo matang dan berambut ikal di sebelahnya. “Nala mah temennya cowok semua, jadi gitu deh, kebawa lingkungan ikut-ikut nakal.”

“Kalian jangan gitu, Nala habis putus dari cowoknya,” sanggah anak perempuan lain yang membela Nala. “Kemarin dia SMS-an sama aku sampai malem banget sambil nangis-nangis. Katanya mereka putus karena si cowok dijodohkan sama orang lain.”

“Hah, yang bener?”

“Sumpah, nggak bohong!”

“Cowoknya yang anak SMK 1 itu, kan? Yang tinggi rambutnya dipotong cepak terus dan mukanya selalu ketutupan topi?”

Two Peas In A Pod √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang