4. Without Love

2.1K 106 39
                                    

Without him, without love, without anyone who doesn't care about my heart. I'm still alive

~Vallen

***

Vallen menyodorkan sebotol air dingin pada lelaki yang kini duduk di ruang tamu.

"Makasih," ucapnya dengan seulas senyum.

"Harusnya lo jangan sok akrab sama gue, biar gue nggak salah sangka."

Arga menenggak habis sebotol air dingin ditangannya.

"Emang kenapa lo harus salah sangka?"

"Karna akhir-akhir ini banyak banget cowok yang dateng ke gue. Dan semua itu suruhan mantan pacar gue," jelas Vallen.

"Buat apa mantan lo nyariin lo cowok? Bukannya lo udah punya pacar?"

"Lo lupa sama omongan gue tadi? Dia cuma mainan gue. Dan sampai kapanpun, gue nggak akan bisa cinta sama cowok lain selain... " Vallen menjeda kalimatnya.

"Samuel?" timpal Arga.

Vallen menengadahkan kepalanya akibat butiran bening mengintip dari kelopak matanya.

"Bukan karena lo nggak akan bisa cinta sama cowok lain, tapi karena lo emang nggak mau buka hati lagi. Percuma Len, lo cinta sama cowok yang udah nggak bisa jadi milik lo," tutur Arga.

"Siapa lo berani nasehatin gue? Lo nggak tau apa-apa soal hidup gue. Mending sekarang lo pergi! Dan jangan ikut campur sama masalah gue," balas Vallen seraya berjalan menuju pintu dan membukakannya untuk Arga.

Bukannya keluar dari apartemen Vallen, Arga justru menarik tangan gadis itu hingga tubuh mereka bertabrakan. Dengan lembut Arga mengusap puncak kepala Vallen dan mencoba memberikan pelukan hangat padanya.

Vallen terkejut bukan main, ia bahkan sempat memukul Arga agar lelaki itu melepaskan tautan tubuh mereka. Namun nihil, Arga masih saja memeluknya.

"Suatu saat lo bakal tau, kalau ada cowok yang bener-bener cinta sama lo. Cowok yang sejak lama mengharapkan lo," lirih Arga membuat Vallen mematung.

***

Sama seperti malam biasanya, Vallen kembali menghabiskan malamnya di kelab.

"Len! Liat deh!" Rena menyodorkan tangan yang kini melingkar sebuah cincin dijari manisnya.

Vallen tak membalas. Sejak tadi ia masih saja sibuk melamun.

"Vallen!" panggil Rena dengan menepuk kasar pundak Vallen.

"Apaan, sih!" kesal Vallen.

"Liat nih! Gue udah dilamar dong sama Fero," pamernya.

"Nggak penting!"

"Lo tau nggak ..."

"Nggak tau dan gue nggak mau tau," potong Vallen.

"Ihh Vallen! Gue belum selesai ngomong. Kemarin tuh ya, waktu Fero sakit, ternyata dia itu kecelakaan karena buru-buru mau ketemu gue buat ngasih cincin ini. Ya ampun, gue kan jadi terharu," jelas Rena tak mendapat sambutan baik dari Vallen.

Gadis itu kembali melamun.

Dengan gemas Rena menepuk kasar kepala Vallen.

"Renaaa! Sakit tau!" omel Vallen.

"Lo kenapa, sih! Ngelamun terus dari tadi, kesambet tau rasa lo."

Vallen tak menjawab, ia justru menyambar sebotol soda dan meminumnya seolah sangat kehausan.

Kalau sudah seperti ini, Rena tak perlu banyak bertanya. Ia sudah sangat hafal dengan sikap Vallen. Gadis itu tengah dirundung kesedihan yang sangat mendalam.

"Len! Sampai kapan lo begini?"

Vallen masih tak menjawab. Ia justru menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangan.

"Kenapa lo nggak coba serius sama Aldi. Dia beneran cinta sama lo."

"Gue capek, Ren! Capeekk banget!" keluh Vallen dengan mata berkaca-kaca.

***

Hari ini Vallen kembali membolos sekolah. Ia bersiap-siap untuk mengunjungi sang ibu. Mungkin sedikit beban hidupnya akan berkurang jika melihat wajah sang ibu. Atau justru perasaannya akan semakin kacau setelah bertemu wanita yang telah melahirkannya itu.

Vallen berjalan lesu menyusuri lorong yang akan membawanya ke sebuah ruangan tempat ibunya tinggal.

Disana, gadis dengan rambut acak-acakan berbaju biru tengah meringkuk di sudut ruangan. Betapa rindunya Vallen dengan wajah mengerikan itu.

Berat sekali bagi Vallen menghampiri sang ibu. Ia datang bersama kesedihan, ia takut itu akan membuat sang ibu turut bersedih dan kondisinya semakin memburuk.

"Ibu!" panggil Vallen dengan nada pilu.

Wanita paruh baya itu masih terdiam. Matanya sayu tanpa semangat hidup.

"Ibu, ini Vallen!"

Sekuat tenaga Vallen menahan butiran bening yang terus saja memaksa untuk keluar.

"Vallen rindu ibu." Dengan penuh kehangatan, Vallen mendekap tubuh kurus ibunya.

Carissa hanya diam, sesekali ia tertawa. Bukan karena bahagia bertemu sang putri, namun tawanya justru persis seperti sikap wanita gila pada umumnya.

Selain luka akibat kehilangan Samuel, Vallen juga memiliki luka dalam akibat sang ibu harus mengidap penyakit gangguan jiwa.

Vallen tak tau pasti sebab sang ibu menjadi gila, ia hanya menyakini bahwa karena papanya sering melakukan kekerasan fisik pada sang ibu sejak kecil. Juga karena hubungan rumah tangga yang tak pernah harmonis dengan bumbu-bumbu pertengkaran yang setia menaburi hari-hari pilu mereka.

Dulu Vallen masih mampu bertahan karena Samuel selalu ada disisinya, namun setelah lelaki itu meninggalkannya hari-hari Vallen hanya dihiasi dengan air mata.

Vallen pun hanya bisa mengobati kesedihan itu dengan minuman-minuma beralkohol. Serta kenakalan-kenakalan untuk melampiaskan segala luka dalam hatinya.

Hanya dengan cara itulah ia mampu bertahan hidup hingga detik ini. Tanpa cinta dan kasih sayang, hanya minuman beralkohol yang setia menenangkan hatinya.

***

Tbc...

Terima Kasih, Luka! [Re-Write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang