KELAS GABUNGAN

23 5 0
                                    

“Kelas gabungan.” Itu saja yang tertera di kertas jadwal, tanpa ada penjelasan tambahan. Sampai saat ini aku masih menerka-nerka kelas seperti apa ini. Kuharap kelas penutup ini bukan kelas yang aneh-aneh dengan tugas berat. Cukup sudah seharian ini aku merasa sangat lelah, baik pikiran maupun fisik. Jeda istirahat dari satu kelas ke kelas lain bahkan tidak cukup buatku, aku hanya bisa makan atau sholat atau mengerjakan tugas. Tanpa ada waktu tersisa lagi untuk benar-benar beristirahat.

Dan disinilah aku sekarang. Di aula dengan banyak siswa dari program lain, seperti namanya, “Kelas Gabungan”. Area dibagi menjadi dua bagian, kanan dan kiri, sementara bagian tengah dibiarkan kosong. Di depan, layar besar terpasang. Berhadapan dengan layar, terdapat bangku khusus yang sepertinya akan digunakan oleh tutor yang memandu kelas.
Aku duduk di sebelah kanan, mengikuti siswa lain yang telah mengambil posisi masing-masing. Semua siswa perempuan duduk di sisi ini, entah memang sudah peraturan atau inisiatif salah satu siswa saja. Semua bangku di area kanan menghadap ke kiri, begitu juga sebaliknya, sehingga siswa perempuan dan siswa laki-laki saling berhadapan.

Mendapati ada begitu banyak siswa di kelas ini, sebenarnya aku tidak nyaman. Ya, aku tidak pernah nyaman dengan keramaian, apalagi dengan begitu banyak orang yang tidak kukenal dan situasi yang belum familiar. Berbeda dengan Tia yang duduk di sebelahku, dia tidak masalah dengan kelas ini dan tampak percaya diri.
Semakin mendekati jam 7 malam semakin banyak siswa yang memasuki aula hingga hampir tak ada lagi bangku kosong. Tepat jam tujuh kak Ari membuka kelas.

‘Duh, kenapa kak Ari’, batinku dalam hati. Tutor dengan aura sangar dan sikap yang sangat tegas ini langsung membuatku berpikir buruk terhadap kelas ini. ‘Pasti nggak seru,’ pikirku.
Nyatanya yang terjadi tidak seburuk yang kupikirkan. Kelas malam ini diisi dengan motivasi dan sedikit pelajaran ringan yang cukup asik untuk diikuti, setidaknya tidak membuat kepalaku semakin pusing setelah seharian penuh ketegangan memasuki kelas demi kelas.

Namun, aku cukup kaget saat lampu dimatikan, lagu diputar, pandangan menghadap ke layar, hampir semua peserta dalam ruangan itu berdiri menikmati musik dan bersiap untuk bernyanyi. Suasana mendadak seperti di konser musik, atau ruang karaoke, entahlah, susah menjelaskannya. Yang jelas, saat itu, aku memilih untuk duduk saja, karena canggung sekali rasanya. Kulihat beberapa siswa juga memilih duduk, hanya saja mereka tampak bersemangat menyanyikan lagu dalam bahasa inggris yang aku tidak tahu judulnya itu.

Saat hampir semua mata memandang ke layar yang menampilkan text lagu, sekilas aku menyisir area kiri di hadapanku. Diantara sekian banyak siswa laki-laki yang menyanyikan lagu dengan kencang dan cukup heboh seakan melepas semua kepenatan satu hari ini, pandanganku berhenti pada seorang siswa yang tampak tenang. Matanya menatap ke layar dan dia ikut bernyanyi, namun dia juga duduk, sepertiku dan sedikit anak lainnya. Bedanya dia tidak sepertiku yang terjebak antara perasaan takut berbuat kesalahan karena tidak ikut berdiri, namun terlalu canggung untuk ikut berdiri dan larut dalam suasana bersama orang-orang baru yang belum mengenalku. Dia, tidak merasa harus mengikuti arus. Dia melakukan apa yang ingin dia lakukan, tanpa takut pandangan orang. Meskipun itu kesimpulan sepihak dan terlalu dini, dan akupun cukup heran bagaimana aku bisa mengambil kesimpulan sebanyak itu hanya dengan melihat seorang laki-laki yang sedang duduk tenang, namun saat itu terbersit kekaguman. Dalam hati aku ingin berteman dengan dia, karena kurasa dia anak yang baik. Ya, aku tahu ‘baik’ itu relatif dan merupakan kata yang terlalu umum, tapi kalau aku harus menjelaskan tentang dia berdasarkan penilaian sekilasku, maka aku akan kembali mengatakan kalau dia anak yang baik. Anak itu bernama Yahya.

Please Don't GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang