Aku, Tia, dan Fira sedang berkumpul di ruang tengah. Fira satu camp denganku. Meskipun mengambil program lain, Fira cukup akrab denganku dan Tia. Kuakui kemampuannya berkomunikasi dan bersosialisasi sangat oke, dia sudah punya banyak sekali kenalan di sini, baik siswa dari camp atau program lain, maupun para tutor.
Kami baru saja selesai mengerjakan tugas dan sedang bersantai menunggu jadwal kelas berikutnya, dan memutuskan menghabiskan waktu dengan mengobrol. Oke, sebenarnya ngomongin orang sih, tapi karena mungkin berkonotasi negatif, kita ganti dengan kata ‘mengobrol’ saja, hehe.
Jangan salah sangka dulu. Jadi begini, meskipun jumlah siswa di tempat les ini sangat banyak, tetapi dengan jadwal yang sangat padat bisa dibilang kalau aku sudah cukup familiar dengan wajah-wajah mereka, karena setiap hari ya ketemunya mereka-mereka juga. Begitu juga dengan tutor yang bisa mengajar di lebih dari satu program, kami hampir mengenal semua tutor, meskipun tidak pernah diajar di kelas. Berita apapun bisa tersebar dengan sangat cepat, melebihi kecepatan ekspedisi dalam mengirim barang.
Jadi cukup wajar kalau setiap hari ada saja yang jadi bahan obrolan. Dan kali ini, aku, Tia, dan Fira sedang ngomongin kak Ari. Iya, tutor dengan aura sangar yang terkenal sangat tegas dan disiplin itu. Kabarnya, kak Ari punya wewenang khusus untuk memberi hukuman bagi peserta les yang melanggar peraturan.
“Tahu nggak sih, kemarin di kelasku kan jadwalnya bikin review dari video yang habis ditonton, presentasi gitu. Nah, si Adit kan lagi nggak enak badan tuh, lagi serak banget suaranya, tapi dia tetap masuk kelas. Waktu dia dapat giliran presentasi, dia izin ke kak Ari biar dapat keringanan untuk nggak presentasi karena tenggorokannya sakit banget, katanya. Eh, sama kak Ari, nggak diizinin. Tetap disuruh presentasi. Kasihan banget jadinya Adit, suaranya udah kayak suara bebek kejepit gitu. Kita mau ketawa juga nggak enak, kasihan. Tau deh tuh, kak Ari kok bisa sadis banget.” Fira bercerita dengan penuh semangat.
“Terus nggak disuruh berhenti presentasi gitu, setelah tahu Adit beneran sakit?” Tanya Tia.
“Enggak, disuruh lanjut terus. Padahal Adit mukanya udah menderita banget kayaknya. Suaranya udah mau habis.” Jawab Fira.
“Serem juga ya.” Komentarku.
“Iya, Sas. Tau tuh, kok bisa gitu banget ya kak Ari. Mana di kelas dia nggak pernah senyum, pula.” Tambah Fira. “Males banget deh tiap diajar dia. Cerdas sih, ngajarnya sebenarnya juga enak, gampang dimengerti, tapi kaku banget orangnya.”
“Jangan gitu Fir, ntar naksir lho!” Ledekku.
“Hahaha.” Fira tertawa.
Begitulah, kami terus ngobrol sampai lupa waktu. Hingga kemudian Fira yang pertama sadar.
“Bentar, jam berapa ini?” Tanya Fira.
Tia segera melihat jam tangannya, “jam 10 lebih.. tiga menit.” Tia pucat.
Kami semua berpandangan, menyadari bahaya yang akan datang. Dalam sekejap seperti ada bom waktu yang diletakkan di dekat kami, sebentar lagi meledak.
TIDAAAAK....
Dalam sekejap aku, Tia, dan Fira segera menyambar tas masing-masing, bergegas membuka pintu, dan berlari meninggalkan camp menuju tempat les. Kami berusaha berlari sekeras mungkin hingga cukup menimbulkan kegaduhan. Tergesa menyeberang jalan, dan berlari kembali sekuat tenaga. Sekilas kulihat beberapa peserta les yang sudah berada di kelas masing-masing melihat kami, tapi aku tidak peduli. Kami terus berlari bahkan aku dan Fira hampir saja menabrak kak Gilang yang berdiri dekat papan tulis.
“Maaf kak.” Kataku. Tanpa menunggu respon kak Gilang, Aku, Tia, dan Fira sudah melesat menuju kelas masing-masing.
Terlambat, baru saja aku mendaratkan diriku di bangku, aku baru menyadari kalau sedari tadi ada seseorang yang terus memperhatikan kami, dan orang itu sedang berdiri di depan kelasku, berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go
RomansaSasya, 22 tahun, fresh graduate yang gagal move on dari kisah cintanya. Tidak disangka rencana isengnya untuk les bahasa inggris mempertemukannya dengan Yahya, sosok cerdas dan kocak yang selalu bisa membuatnya bahagia. Sayang, pertemuan mereka sela...