J5

1.2K 211 15
                                    

"Jihoon-ah, cepat lari dari sini. Pergilah sejauh yang kau bisa. Aku akan menggantikanmu bertanggung jawab atas insiden ini."

Ku kira fokusku masih belum sepenuhnya kembali, sehingga telingaku mulai mendengar hal yang melantur.

Tetapi tidak, Daniel hyung betul-betul berkata seperti itu.

Segera saja aku bergeleng tegas. "Tidak, hyung-lah yang harus pergi. Aku akan tetap di sini sampai ada yang menemukanku dan membawa mereka ke rumah sakit."

"Kalau kau yang menyerahkan diri, urusannya bisa panjang. Orangtua anak-anak ini akan melaporkanmu ke kepala sekolah atau bahkan polisi, teman-temanmu akan semakin membencimu, dan bisa-bisa kau dikeluarkan dari sekolah."

"Lalu kenapa? Sekarang pun sudah banyak yang tidak suka denganku, termasuk mereka bertiga. Jadi apa bedanya?"

"Masa depanmu masih panjang, Park Jihoon, jadi berhentilah bersikap keras kepala. Kalau kau menyerah sampai di sini, maka kau akanㅡ"

"PERSETAN DENGAN SEMUA ITU, AKU TIDAK PEDULI!"

Teriakanku yang menggelegar membuat Daniel hyung terkejut.

"Buat apa aku memusingkan soal masa depan kalau hyung tidak ada di sana nantinya?" lanjutku dengan volume suara kembali seperti sedia kala. "Aku tidak ingin kau pergi lalu menghilang dari hidupku, hyung. Hanya kau yang membuatku bahagia, bukan mereka. Mereka itu orang-orang jahat!"

Sedetik, dua detik, tidak ada satu pun kalimat yang terlontar di antara kami.

Pancaran yang tersirat dari mata Daniel hyung semakin tak dapat ku artikan. Dia kembali menangkup pipiku, kali ini dengan dua tangan.

Sedikit demi sedikit, jarak yang memisahkan kami kian terkikis. Aku bisa merasakan hangat napas Daniel hyung menerpa wajahku.

Namun belum sempat bibirnya menyentuh bibirku, ku dorong pundak Daniel hyung menjauh.

Maaf, hyung, tapi ini dunia nyata. Kita tidak sedang terlibat dalam serial drama picisan di mana semua masalah bisa terselesaikan hanya dengan berciuman.

Hubungan kita lebih rumit daripada sekedar itu.

"Jihoon-ah..."

"Kita harus kabur bersama-sama," ucapku.

"Hasilnya akan sama saja, bunny."

Bukannya terenyuh karena yang disebut Daniel hyung ialah panggilan sayangnya untukku, aku justru mengernyitkan alis.

Pasti dia ingin membujukku dengan kata-kata manis.

"Hyung, ini bukan saat yang tempat untukㅡ"

"ㅡmerayu 'kan? Iya, aku tahu. Makanya dengarkan aku dulu," potong Daniel hyung.

Kali ini sepasang tangan milik kekasihku berpindah dari pipiku menuju pundak, dia memegangiku cukup erat.

"Kalau kita melarikan diri bersama, kemungkinan besar orang pertama yang mereka cari adalah kau. Apalagi jika ternyata anak-anak ini masih hidup lalu siuman, pasti namamulah yang akan disebut sewaktu mereka mengadu dan situasimu bisa semakin terpojok gara-gara kesaksian mereka."

Masih dalam posisi setengah berlutut, Daniel hyung beringsut ke sisi tubuh Euiwoong kemudian mengecek denyut nadinya.

Dia mengambil kesimpulan sembari meletakkan kembali lengan Euiwoong pelan-pelan. "Apa ku bilang? Yang ini saja masih bernyawa."

"Jika memang konsekuensinya harus seperti itu ya aku bisa apa?" ujarku, masih bersikukuh seperti sebelumnya. "Mereka terprovokasi karena aku yang pertama kali melemparkan pukulan, jadi akulah yang harus bertanggung jawab. Aku ini laki-laki, hyung, dan sebentar lagi akan menginjak usia dewasa. Aku tidak mau hyung terjerat masalah yang bahkan tidak ada keterlibatan hyung di dalamnya..."

Sekarang giliran Daniel hyung yang menggelengkan kepala menolak argumentasi dariku. Aneh, padahal biasanya dialah yang lebih sering mengalah duluan apabila kami bertengkar.

"Siapa tahu kalau aku turut campur tangan, orangtua mereka cuma akan meminta ganti rugi biaya rumah sakit karena aku sudah berpenghasilan."

Diraihnya jari jemari kananku, satu tangan Daniel hyung menepuk-nepuk lembut punggung tanganku sementara tangannya yang lain memegangi bagian telapak semakin mendingin akibat cuaca.

"Kali ini kau harus percaya padaku. Kau menjauh dari sini, berdoalah supaya semua bisa selesai dengan jalan damai dan aku bisa kembali menemuimu lagi. Oke?"

Entah senyuman hangat Daniel hyung atau cara dia bertutur yang menjadi penyebabnya, tetapi yang pasti lambat laun aku mulai merasa teryakinkan.

Benar juga. Padahal masih ada kemungkinan baik yang bisa terjadi, tapi kenapa sedari tadi hanya kemungkinan buruk yang terpikirkan oleh benakku? Apakah ini diakibatkan oleh kepanikan yang melanda?

Terlalu segan untuk mengakui bahwa aku mengalah dari Daniel hyung, sempat ku tundukkan kepala sebelum kembali menatap lurus ke arah indra penglihatan Daniel hyung.

"..... Berjanjilah kau harus tetap baik-baik saja dan cepat datangi aku sesudahnya," ucapku, lebih dengan nada memerintah alih-alih memohon.

Sadar bahwa akhirnya dia memenangkan perdebatan ini, baru sekarang Daniel hyung sanggup untuk terkekeh.

"Iya, bunny. Aku berjanji."

Daniel mengangkat jari kelingkingnya, mengajakku untuk melakukan pinky promise.

Segera saja ku iyakan dengan mengaitkan kelingking milikku pada miliknya.

Bersamaan dengan tautan itu, Daniel hyung mengikat janjinya kepadaku.

Blissful Utopia⚫nielwinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang