#PeP8 - Modus atau Apa?

320 69 35
                                    

"Pulang sekolah bareng gue. Jangan lupa."
- Rio Zakaria -

🎼

"Kamu kenapa bisa telat sih, Kar?" tanya Monic sambil menerima semangkuk bakso di kedai Mbok Lasri. "Eh? Makasih, Mbok."

"Aku mimpi, Mon. Mimpi Andreas."

"Tunggu, kamu harus cerita. Kita cari tempat duduk dulu ya, berisik banget ini kalau sambil jalan." Mata Monic menyapu seluruh isi kantin. Hampir semua kursi dan meja di sana sudah berpenghuni.

Begitulah pemandangan kantin yang selama beberapa hari ini selalu dinikmati oleh Karla dan Monic. Ramai dan berisik. Berbeda dengan kantin di sekolahnya dulu yang tergolong kecil dan sepi karena hanya beberapa jenis makanan saja yang dijual.

"Nah, ayo duduk sini aja, Kar," ajak Monic. Semangkuk bakso yang menggugah selera itu sudah ada di hadapannya. "Jadi, tadi mau cerita apa?"

Karla menghela napas. Mencoba mengingat setiap kepingan mimpi yang semakin lama semakin pudar dari ingatannya. "Andreas datang dan meluk aku tapi ngga ngomong satu kata pun."

"Ah! Kenapa sih cowok kamu itu so sweet banget, Kar? Bahkan di saat dia udah ngga ada." Monic tersenyum sambil memandangi Karla. Tepat. Karla akui kalau Andreas memang romantis seperti yang dibilang sahabatnya.

"Terus dia ngasih aku foto cowok yang wajahnya ngga bisa kulihat dengan jelas," sambung Karla, "terus aku kebangun deh gara-gara Mama teriak."

"Ih, ngegantung banget sih, Kar, mimpinya."

Monic yang mendengarnya pun menjadi ikut penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Andreas melalui mimpi itu. Karla hanya bisa mengangkat bahunya karena ia juga masih belum bisa memecahkan kebingungannya.

"Gue juga masih bi—" Ucapan Karla terhenti ketika seseorang menyenggol punggungnya. "Duh! Bisa ngga sih lihat-lihat kalau jalan? Jalanan luas itu loh."

Karla menoleh ke belakang. Mata lelaki itu sedang bertemu dengan mata miliknya. Mereka saling berpandangan hingga salah satunya menyadari.

Rio memegang pundak Karla dan bertanya, "Sorry, sorry. Ngga apa-apa kan? Tadi gue lagi celingukan nyari Leon."

"Hmm ...." Karla hanya bergumam dan memalingkan wajahnya kembali. "It's okay."

Melihat Karla sudah tak memedulikan dirinya, Rio pun kembali berjalan untuk mencari Leon yang sejak tadi sudah lebih dulu sampai di kantin karena kelaparan. Matanya berhenti di satu titik, tepat di tempat nasi goreng Bang Mamat.

"Yon! Susah banget gue nemuin lo, padahal cuma di kantin sekolah. Tadi gue sampe nyenggol Karla saking fokusnya nyariin lo," keluh Rio sambil menarik sebuah kursi yang ada di depan Leon.

Sahabatnya yang sedang menikmati nasi goreng itu berusaha menelan makanannya dengan cepat. "Lo ketemu mulu sama Karla, terus dari kemarin juga sering banget bahas Karla. Jangan-jangan, dugaan gue bener nih." Ekspresi meledek itu muncul lagi dari wajah Leon. Kalau urusan mengejek, Leon ini juaranya. Bisa sampai salah tingkah dibuatnya, sama seperti Rio.

Rio menggeleng dengan segera dan berusaha mengubah topik obrolan. "Eh, Yon, lo nonton pertandingan basket semalam ngga? Skornya beda jauh banget."

Leon menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa getir. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring berwarna putih itu. "Yo, gue kenal lo udah sejak kita masuk SMA dan gue tahu banget kalau lo ngga semudah itu salting hanya karena mendengar nama seseorang, apalagi cewek."

Rio masih diam. Tak menanggapi perkataan Leon. Ia lebih memilih untuk menunduk daripada menunjukkan wajahnya. Tidak jarang Leon bisa menebak perasaan dan pikiran orang lain hanya dengan memerhatikan wajahnya. Iya, itu bakat lain Leon selain bermain basket. Jadi dukun yang tahu segala hal.

"Kalau emang lo ngga suka sama Karla, gue mau lo taruhan sama gue. Lo harus bisa jadian dengan Karla selama seminggu. Setelah itu, lo bisa putus dari dia. Kalau lo beneran ngga suka, pastinya ngga ada masalah dong? Kalau lo berhasil, gue traktir lo makan. Kalau lo kalah, lo yang traktir gue. Berani ngga lo?" Leon menyodorkan tangannya. Rio masih memandangi sahabatnya dan ide gilanya itu.

"Oke. Deal!" Rio menerima taruhan itu dengan yakin. Memberikan senyuman penuh percaya dirinya.

Leon menepuk-nepukkan pundak Rio. "That's my boy! Pemanasan dulu gih sana."

"Hah? Gue lagi ngga mau senam. Ngaco aja lo masa senam di kantin kayak gini."

"Ngga gitu juga maksud gue, Yo. Sebagai sahabat yang baik, gue mau ngasih lo kesempatan duluan buat bisa minta nomor handphone ke Karla. Satu piring siomay buat lo deh kalo berhasil."

Mendengar kata 'siomay', Rio menjadi bersemangat. Ia melangkahkan kakinya menuju meja Karla. Untungnya gadis itu masih ada di tempat yang sama.

Dehaman Rio membuyarkan tawa yang sedang meluap di antara dua gadis itu. Tawanya berhenti, menyisakan keheranan yang terekspresikan di wajahnya.

"Kak Rio? Ada apa, Kak?" tanya Monic yang juga membuat Karla menoleh ke belakang.

"Kar, gue minta nomor lo dong. Guru TU bilang katanya nomor lo belum terdaftar." Rio langsung mengutarakan maksud dan tujuannya menghampiri gadis itu. Dengan jabatan sebagai wakil ketua OSIS, hal itu bisa menjadi tameng baginya dalam menjalankan misi yang dibuat oleh Leon.

"Perasaan gue udah ngisi biodata sekolah lengkap deh." Tangan Karla merogoh saku kemejanya, mengambil benda berwarna hitam berbentuk persegi panjang itu.

Ia mengetikkan beberapa angka pada ponselnya. Layar ponsel itu ditunjukkannya pada Rio. "Nih, catat sendiri."

Rio mengacungkan ibu jarinya diikuti anggukan kepala Karla. Ia pun kembali menuju Leon yang dari tadi memerhatikannya dari kejauhan.

"I got it!" Rio menggoyang-goyangkan ponselnya dan menunjukkan sebuah kontak dengan nama 'Karla si fals' terpampang di layar ponselnya.

Leon bertepuk tangan kecil. Rio memang benar-benar hebat di matanya. Tak sampai hitungan jam, sahabatnya itu bisa mendapatkan nomor gadis tercuek dengan mudah.

"Mang, siomay satu porsi," teriak Leon, "yah, uang jajan gue melayang deh."

Rio tertawa mendengar keluhan sahabatnya. "Siapa suruh lo melawan Rio Zakaria?"

🌂🌂🌂

Getaran dari saku kemeja Karla berhasil membuatnya tak fokus memerhatikan materi pelajaran yang disampaikan oleh Pak Abdul. "Siapa sih ini?"

Dengan sembunyi-sembunyi, Karla mengambil benda yang sejak tadi bergetar dan membuatnya risih. Tiga SMS masuk. Sederetan angka terlihat di layar ponselnya. Menunjukkan bahwa nomor itu belum tersimpan di dalam kontaknya.

Karla, ini gue Rio.

Tes.

Nanti lo pulang bareng gue. Jangan lupa! Gue tunggu di parkiran motor.

"Oh, jadi dari tadi Rio yang SMS ngga penting gini? Kebangetan tuh anak, ngga tahu waktu." Karla mengunci ponselnya tanpa membalas pesan dari Rio. "Lagian, kenapa sih maksa banget ngajak gue pulang bareng?"

Pluie et Piano ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang