"Kenapa secepat ini? Semua janji itu udah ngga berlaku lagi?"
- Karla Quenncy -🎼
"Dek, udah siap? Ayo kita jalan sekarang kan masih harus registrasi ulang ya." Wanita itu menggandeng tangan Karla dan berjalan bersamanya.
Gadis yang memakai dress berwarna merah dengan dasi kupu-kupu berwarna putih itu berjalan menuju mobil. Tangannya dingin, jemarinya bergerak tiada henti. Gugup. Gelisah.
Davon tengah duduk di depan setir saat Karla dan mamanya masuk ke dalam mobil. Matanya melirik ke kursi belakang. Memandangi adiknya yang melirik ke segala arah sambil sesekali memegangi ponselnya.
"Jangan grogi, Dek. Lo kan jagoan." Davon berusaha menyemangati adiknya meskipun ia tahu penyebab Karla gelisah yang sebenarnya.
Mamanya ikut menoleh ke belakang dan tersenyum. "Iya, Bang," ucap Karla dengan nada melemah, "Andreas kok ngga ngasih kabar sama sekali ya? Padahal dia juga tahu kalau gue tampil hari ini."
"Sibuk kali, Dek. Tunggu aja, nanti dia juga datang sendiri kok." Davon tak menghilangkan pandangannya dari jalanan.
Gedung yang menjulang tinggi dan berwarna hitam itu mulai terlihat dari kejauhan. Kegelisahan Karla semakin meningkat, mengingat kompetisi pertamanya akan segera dimulai.
Orang-orang mengantre cukup panjang untuk masuk ke dalam gedung. Untungnya, barisan antrean antara peserta dan penonton dipisahkan. Karla dan mamanya langsung menuju meja registrasi kemudian bersiap di atas panggung, sementara Davon masih mencari tempat parkir untuk mobilnya.
"Wah, jadi begini rasanya ikut kompetisi besar ya." Mata Karla bersinar. Senyumnya merekah. Segala kekhawatiran dan kegelisahan seakan menghilang dari dirinya.
🌂🌂🌂
"Mana kanvas itu? Udah jam berapa ini?" seru Andreas. Kakinya bergerak ke kanan dan kiri. Tangannya meraba meja belajar. Matanya memandangi jam dinding di kamarnya. "Sepuluh menit lagi mulai dan aku bahkan belum mencari kado yang udah kurencanain dari jauh-jauh hari."
Andreas mulai kesal namun ia tahu kalau marah tidak bisa membantunya menyelesaikan masalah. Tangannya mengambil dengan cepat kanvas yang akhirnya ia temukan tergeletak di bawah meja belajarnya kemudian memasukannya ke dalam kotak. Ia mengambil jaket jeans yang tersampir di belakang pintu kamarnya dan meraih kunci motor di saku celananya.
"Oke, tujuan selanjutnya, toko kado."
Motornya melaju dengan kecepatan tinggi menuju toko kado yang ada di dekat gedung tempat lomba Karla dilaksanakan. Pramuniaga toko itu menyapa dan menyambut Andreas dengan hangat namun Andreas hanya tersenyum dan langsung bertanya, "Mbak, saya mau beli kotak musik. Tempatnya di sebelah mana ya?"
Pramuniaga itu langsung mengarahkan Andreas menuju barang yang dicarinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengambil dan membayar kotak musik berbentuk piano. Ini pas.
"Mbak, minta tolong dibungkus sekalian ya. Tolong tuliskan ini juga, Mbak." Andreas menyodorkan ponselnya. Sebelumnya, ia memang sudah mempersiapkan kalimat ucapan darinya di catatan yang ia tulis di ponsel.
Pramuniaga itu mengangguk. Tangannya dengan cepat dan terampil membungkus kado itu sehingga terlihat cantik dan menarik. "Terima kasih banyak, Mbak," ujar Andreas setelah memberikannya beberapa lembar uang.
Semuanya udah. Aku tinggal berjalan sebentar lagi dan sampai di gedung. Wait for me, Kar.
"Duh! Kok malah hujan sih. Biarlah, terobos aja. Sebentar juga akan sampai." Andreas mengenakan helmnya dan menyalakan motor itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluie et Piano ✔
Novela JuvenilTERBIT, silakan dipesan:) [COMPLETED] #847 in Teen Fiction (20/01/18) #ODOCTHEWWG "Hujan itu anugerah dari Tuhan. Karunia yang juga membawa gue kembali mengingat kenangan indah itu." - Rio Zakaria "Gue benci sama hujan. Dulu dia datang membawa trage...