Aku berbaring di ranjang kecil sembari melepas lelah sehabis menghabiskan siang hingga malam di kedai kopi tiam Rasa Malay, kepunyaan suami-istri yang sudah tua, yang biasa kupanggil Opa dan Oma Alung. Tak lama, hapeku berbunyi. Tanganku meraihnya. Aku lihat nama penelepon tertera, beserta fotonya yang superjelek.
Aku menjawab dengan nada ketus, "Apa?"
"Tidak kenapa-kenapa sih... Cuma pengin nelepon lo." Suara di seberang terdengar kenes.
"Nggak penting!"
"Penting buat gue. Gue pengin minta maaf nihhh soal tadi siang."
"Kelamaan nyadarnya."
"Yah, lo tau kan gue sedikit lemot."
"Nah, tuh sadar."
"Jangan marah lagi dong, Oliviaaaa..."
"Ish! Siapa lo pake manggil-manggil nama panjang gue?"
"Gue sahabat lo. Makanya jangan marah lagi. Lo lagi apa?" cerocos Dewi diselingi suara kunyahan kerupuk yang bikin aku harus menjauhkan hape dari telinga.
"Lagi mikirin mau balas dendam sama lo."
"Jangan gitu dong. Besok kita makan nasi goreng yang di kantin yuk. Enak tuh. Ada nasi goreng kambing."
"Gue nggak doyan kambing."
"Yah, lo makan nasi goreng sosis aja. Oke, oke? Ketemu jam delapan ya?"
Baru saja aku hendak menyetujuinya namun teringat pesan Opa Alung tadi, sebelum menutup kedai. "Nggak bisaaa, pagi-pagi gue mesti ke kedai dulu. Tadi Opa udah pesan ke gue."
Dewi tidak memaksa. "Ya sudah, nggak pa-pa. Lain kali bisa. Tapi besok siang kuliah, kan?"
"Iya, kuliah."
"Oke deh. Sampai ketemu besok ya."
Aku menaruh hape ke atas perut dan membiarkannya di sana. Pandanganku menerawang ke langit-langit kamar kos yang sangat kecil. Benakku melayang ke berbagai tempat. Terutama ke tempat itu. Sekelebat dadaku terasa sesak, air mata berdesakan hendak keluar. Apakah itu artinya...
Rindu?
Aku mendengus di tengah kesunyian kamar, yang membuat cecak kabur dan ngumpet di balik lemari bobrok. Boro-boro rindu. Sebal iya!
Sayup-sayup terdengar suara Ariel Noah membelah kesunyian. Lamat-lamat suara nyanyian itu semakin kencang. Aku geram. Rasanya aku harus membuat perhitungan dengan tetangga kos centil dan memuakkan itu. Mengganggu ketenangan orang lain saja!
***
Seorang cowok tampak asyik mendengarkan lagu lewat headset besar yang menutupi telinganya hingga tampak kepalanya membesar---mengingat ukuran asli kepalanya itu sebenarnya kecil. Ia mengangguk-angguk, larut mendengarkan musik. Keki karena dia tidak menyadari kehadiranku, aku menendang kursinya. Pelan sih, tapi sanggup menghasilkan efek luar biasa yaitu cowok itu melompat dari kursinya.
"Eh... Oh..." Si cowok tergagap begitu melihatku.
"Ini meja gue," ucapku datar dan bernada dingin.
Tanpa banyak tanya, cowok itu meraup buku dan tasnya lalu ngibrit takut aku gigit. Well, sudah seharusnya dia pergi karena tahu aku menempati meja itu setiap hari. Menggigitnya sudah pasti tidak, walaupun Dewi pasti akan membantahku habis-habisan. Masalahnya, dia pernah melihatku menggigit bajingan yang menganggu kami. Aku tetap menyebutnya bajingan walaupun dia senior di Universitas Tunas Bangsa. Untung saja dia berbeda fakultas dariku dan Dewi. Dia kuliah di Fakultas Ekonomi sementara kami di Psikologi. Ceritanya cukup panjang dan kejadian itu juga membuatku dipandang sebelah mata oleh para mahasiswa di sini. Mungkin penampilan dan kelakuanku menyebabkan semua mahasiswa bukannya membelaku, justru mencibirku.
Ah, sebodo amat.
Aku menyisir rambut hitamku ke belakang hingga rambut ungu di bagian depan terjatuh kembali ke pipi ketika aku menunduk. Aku merogoh tas, mengeluarkan buku-buku, lalu merogoh tas ungu lagi untuk mencari bolpoin yang terselip entah di mana.
Sialan! Di mana sih benda terkutuk itu? Aku cukup yakin sudah membawanya.
Aku menatap sekeliling kantin. Sejauh mata memandang, sedikit mahasiswa yang menempati kantin yang cukup luas itu. Yang berkerumun malah ada di ujung kantin. Malas mesti jalan ke sana. Seharusnya aku pergi ke perpustakaan yang terletak tepat di atas kantin, tapi malas juga.
Dengan nekat aku berteriak kepada pedagang jus yang kiosnya dekat dengan tempat dudukku. "Eh, Bang!"
Saking kencangnya, bukan hanya membuat abang penjual jus yang menoleh, tapi seluruh mata di kantin.
"Punya bolpoin nggak? Pinjem dong!"
Si abang jus baru mau membuka mulut untuk menjawab, ketika seseorang menyelanya, "Nih, pinjem punya gue."
Arah pandangku tertarik pada sosok yang tidak kusadari keberadaannya. Mungkin baru datang. Atau aku memang tidak peduli. Yang membuatku mengerutkan kening, aku pernah melihat cowok itu. Dewi bilang aku persis gajah karena ingatanku terlalu kuat, bahkan mengalahkan sinyal wi-fi yang paling kencang.
Ternyata dia cowok yang tempo hari duduk di sebelahku dan Dewi ketika kami berada di perpustakaan. Cowok berkacamata, tinggi, dan sedikit kurus. Rambutnya model zaman sekarang, yang sisi-sisinya dicukur habis hingga menyisakan bagian atas saja.
Cowok itu mengulurkan bolpoin hitam. "Nih, pakai aja."
Aku membalas dengan mengulurkan tangan. "Mana? Sini."
Cowok itu tersenyum simpul. "Yang butuh kan lo."
Aku tersenyum mengejek. Oh, rupanya cowok ini nggak sebodoh dan sepolos yang kukira. Atau tidak sepengecut yang pernah kutemui.
"Lo duluan kan yang berniat minjemin. Berarti lo yang harus anter kemari. Gue nggak pernah kok minta pinjem ke lo."
Cowok itu menggeleng. Dia tetap berkata mantap, "Yang butuh yang harus datang kemari."
Rahangku langsung mengencang. Rese. Cowok ini benar-benar menguji kesabaranku. Aku pun bangkit berdiri dan mendorong kursiku dengan belakang kaki hingga menimbulkan suara menderit yang cukup kencang. Aku menghampirinya dengan langkah berderap dan cenderung cepat. Aku bisa mendengar beberapa orang menahan napas di belakangku. Aku berhenti tepat di samping cowok itu.
Dengan berani, dan cenderung santai, cowok itu membalas tatapanku. Aku bisa melihat matanya yang ternyata cokelat terang. Aku semakin kesal karena dia begitu tenang sementara kemarahanku sudah mencapai ubun-ubun. Kedua tanganku mengepal erat. Lalu aku mengangkat tangan kanan dan mengulurkannya. Telapak tanganku terbuka.
Cowok itu langsung menaruh bolpoin yang dia pinjamkan ke telapak tanganku. Aku langsung menggenggamnya. Kemudian dengan gerakan secepat kilat, aku melemparnya ke arah bagian kantin yang kosong. Beberapa mahasiswi memekik saking terkejutnya dengan perbuatanku. Setelah melempar bolpoin, dengan napas memburu, aku kembali memandang cowok tersebut. Dia hanya menaikkan sebelah alis. Wajahnya tak berubah. Tetap setenang air danau.
"That's not nice." Cowok itu berkomentar. Komentar yang bikin kekesalanku makin memuncak. Terlebih lagi dia mengatakannya sambil membuka plastik roti dan mulai mengunyahnya.
"Makan tuh bolpoin!" Aku berteriak.
"Mbak, jangan teriak-teriak di sini."
Aku menoleh dan langsung memelototi si abang penjual jus, "Mbak, mbak. Gue bukan mbak lo! Tutup kuping lo kalau nggak mau denger gue teriak-teriak!"
Si abang penjual jus langsung mengerut begitu aku bentak lalu bersembunyi di balik blender. Aku meninggalkan cowok sok itu, menarik tasku, dan pergi meninggalkan kantin, diiringi tatapan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR GANGSTER GIRL - Christina Juzwar
Teen FictionNukilan novel terbaru Christina Juzwar dari #BadGirlSeries. Terbit Januari 2018. *** Namanya Kassandra Olivia, tapi kelakuannya tidak sebagus namanya. Di kampus, Oliv mendapat cap cewek preman, menyebalkan, dan anarkis. Dia tidak suka berteman apala...