Sebuah Kesempatan

210 33 3
                                    


Gelap, aku tak bisa melihat apapun. Aku tak bisa bergerak, membuka matapun rasanya seakan mustahil dilakukan.

Tetapi aku dapat mendengar dan merasakannya. Ada orang yang menangis hebat di sana, memanggil namaku dan Shiro berkali-kali. Lalu suara ambulans, suara berisik orang-orang yang sibuk melakukan interogasi, disertai jepretan kamera-kamera.

Terlalu banyak suara lain yang terdengar setelah itu. Aku tak bisa mengingat semuanya. Yang pasti, hampir semua terdengar sedih, memilukan. Banyak isak tangis yang tak kuketahui darimana asalnya memenuhi pikiranku.

Kemudian, semua hening tepat setelah kudengar suara peti tertutup dan lapisan tanah yang ambruk. Benar-benar hening, aku tak dapat mendengar apa-apa lagi sampai...

"Kuro!"

Aku masih tak bergeming.

"Kuro! Kuro!"

Suara itu begitu familiar. Suara saudaraku.

"Kuro! Aku takut... kenapa kita ada di sini? Kuro, jawab aku!"

Sebuah suara keras. Aku terkesiap.

Lalu suara tawa mengerikan itu samar-samar mulai terdengar lagi. Makin lama makin keras. Sosok bayangan itu makin mendekat. Tidak, kumohon, jangan datang lagi! Pergi! Kumohon pergi! Tidak!!!!

Mataku terbuka secara instan. Pandanganku masih mengabur. Sepertinya ada cahaya di atasku. Gerbang akhirat? Bukan, aku tak yakin itu bukan cahaya lampu. Lampu? Apa yang terjadi?

Aku bisa mendengar suara napasku sendiri. Alat bantu pernapasan itu bertahan di kedua lubang hidungku. Selang infus samar-samar dapat kulihat bertengger manis di tangan kanan. Dan kudapati diriku berbaring di atas sebuah tempat tidur yang bisa kukatakan empuk dan cukup nyaman.

"A...Ah...," aku mencoba mengeluarkan suara. Seperti terpanggil, tiba-tiba seseorang menghampiriku dan bertanya, "Ah, kau sudah sadar?"

Masih dalam keadaan lemah, aku menoleh ke kanan dan kiri. Suasana terasa asing. Bau obat-obatan agak menyengat tercium hidung kecilku. "Ini... dimana?" aku mencoba mengeluarkan pertanyaan lemah.

"Ah, sebentar!" balas orang itu. Seorang gadis, berpakaian serba putih dan membawa setumpuk catatan yang ia sandarkan pada dadanya. Mungkin dari kesan pakaiannya ia bisa dibilang... mirip perawat?

Gadis perawat itu berjalan keluar ruangan. Suasana hening seketika. Yang terdengar hanya suara alat-entah apa itu namanya-yang berada di sebelah ranjang yang kutempati.

Aku mencoba duduk. Rasanya tubuhku lemas sekali. Seakan sudah tak bertenaga. Seluruh tubuhku nyeri, terutama leher dan perut. Aku mengelus perutku. Oh ya, kalau tidak salah terakhir kali kuingat perutku-

Pintu terbuka lagi, seseorang yang tampaknya menggendong orang lain yang lebih kecil di punggungnya berdiri di sana, "Yo, kau sudah bangun?"

Tubuh tegapnya terlihat gagah, rambut pirang dan matanya yang tajam seakan menambah kesan elegan sendiri pada diri orang itu. Ia berjalan mendekatiku.

Pandanganku langsung terfokus pada orang yang berada pada gendongannya, menutup wajahnya dengan bahu sang pria. Ada isak tangis yang samar-samar terdengar dari dirinya.

Mataku agak membulat, "Shi...ro?"

Ternyata yang bersangkutan mendengar suaraku. Ia langsung tersentak dan menunjukkan wajah sembabnya padaku. "Kuro..."

Sang pria lalu menurunkan Shiro di atas ranjangku, yang langsung dilanjutkan aksi Shiro menghambur padaku. Tangisnya pecah seketika.

Aku terkejut, baru menyadari busana apa yang melekat pada tubuh Shiro. Jas putih, pakaian serba putih dengan bunga mawar merah pada saku dada jas itu. Itu... pakaian buat mayat, kan?

Assassin KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang