Gue baru keluar dari lab dengan wajah kelelahan abis digempur pertanyaan-pertanyaan sengit dari dosen, maklum hari ini presentasi. Mata gue sayu karena semalam tidak tidur dengan baik. Mood gue berada di level paling bawah. Perut melilit karena asam lambung naik ditambah lapar.
"Mo, kartu lab lo ketinggalan" Laras tergopoh-gopoh dari dalam Lab berlari mengejar gue. Nampak semangat yang terpancar dari air mukanya yang sangat bertolak belakang dengan gue. Dia membawa lanyard coach gue yang berisi kartu lab sakti khas anak teknik.
"lo kenapa wajahnya? Kok cemberut? Kan presentasinya sukses dan lo dapet A" tanya Laras yang masuk kelompok lain.
Gue cuma melambaikan tangan sambil mengalungkan asal lanyard gue, "gue laper ras, duluaan ya" ujar gue buru-buru pamit.
Gue yang dalam keadaan mood kayak gini udah ga bisa beramah tamah. Sebelum gue bisa beradaptasi dengan keramaian fakultas teknik yang rata-rata mahasiswanya habis dari Lab atau yang mau ke Lab, ada satu orang memanggil gue dengan suara bassnya.
"Sapiii" panggil orang tersebut.
Gue menoleh ke asal suara dan mendapati Daniel dengan kantung mata yang hampir sama kayak gue.
"apa?" tanya gue galak.
Daniel gak menjawab, dia hanya melihat gue membawa buku segede gaban dan kartu Lab sakti terkenal di Fakultas Teknik menggantung di leher gue. Matanya beralih ke wajah gue yang tanpa ekspresi dihiasi kantung mata hadiah dari bergadang semalaman. Tanpa banyak bicara dia mengambil buku lab dan tas gue.
Daniel membawa gue ke tukang bubur di dekat kampus. Dia meletakkan semua barang gue di atas bangku dan memesan bubur. Gue yang lemes dan lapar hanya bisa menyandarkan kepala gue di atas meja, tidak peduli apakah ada bekas kuah kuning bubur atau sambal di atas meja.
Daniel kembali dari memesan dan berdecak melihat gue yang sudah lemas bukan main.
"ck, kalau kotor mejanya gimana?"
"bawel" balas gue. Kepala gue menghadap dia, mata gue terbuka tapi otak gue udah lima belas persen ancang-ancang mau shut down.
"lo ga mau pindah jurusan apa? Otak lo kan ga nyampe, masih aja nekat masuk teknik." ujar Daniel sambil mengambil tissue dan mengelap meja yang sebenarnya gak kotor. Mengangkat kepala gue sejenak lalu mengelap mejanya dengan tissue basah yang dia keluarkan dari kantung celana joger abu-abunya lalu mengembalikan kepala gue di atas meja.
"Lihat, kotor kan?" Daniel memperlihatkan dua bekas tissue basah yang menghitam dan ada bercak merah sambal.
Gue ga jawab omongan menyebalkan Daniel, karena memang benar. Gue ga jenius, dan banyak hal yang gue ga ngerti. Gue juga ga passion di jurusan ini. Tapi mau gimana lagi? Bubur udah dikasih topping dan siap masuk ke perut.
Selang beberapa menit buburnya dateng. Pak Rahmat, penjual buburnya meletakkan bubur pesanan Daniel buat gue yang sudah dia hafal betul komposisinya. Tanpa kacang dan seledri dengan ekstra bumbu kuning. Sementara bubur Daniel yang komplit namun tanpa bawang goreng.
Gue segera bangun dan menegakkan badan. Mata gue langsung berbinar, tangan gue siap-siap mengambil sambel yang langsung ditepis oleh Daniel.
"lo mau sakit? Ga boleh" larangnya.
"nanti ga pedes Daaan, ga enaak"
"sini gue tampar biar pedes" ujarnya galak sambil menaruh sendok yang sudah dia lap dengan tissue basah ke mangkok gue.
Gue menatap Daniel dengan tajam, mata gue menyipit memandang penuh dengki ketika dia memasukkan beberapa sendok sambel ke dalam mangkuk buburnya lalu menyingkirkan dua mangkuk sambel dari jangkauan gue.
Gue menghela napas dan mulai makan bubur gue yang udah gue aduk dengan tidak selera.
"lo mau nemenin gue engga?" tanya Daniel di sela-sela makan.
"jangan ajak gue bicara" ujar gue galak tapi tetep aja ngasih cakwe yang ada di bubur gue ke mangkoknya dan mencomot kerupuk di mangkok Daniel yang terkena cipratan sambal. Lumayan buat pedes-pedes.
Daniel terkekeh dan menoel dagu gue, "cie ngambek"
"Malam ini, Owen ngajak gue ke VIP. Lo mau ikut kan?" tanya Daniel menoleh ke gue, matanya berbinar persis anak kucing yang minta jatah royal canin dua kali.
Gue bergidik begitu Daniel menyebut nama Owen dan VIP. VIP adalah klub yang lagi hype di Jakarta. Dan Owen itu teman SMA gue dan Daniel.
"enggak" jawab gue singkat.
Ke Klub malam? Daniel udah gila kali ngajak gue ke tempat itu. Gak, gue bukan tipe konservatif yang ga boleh masuk ke tempat itu. Gue cuma enggan dan menurut gue buang-buang uang. Mending uangnya buat gue beli buku, permen mentos dan susu.
Gue melirik ke Daniel yang udah masang tampang cemberut, "ya kalau mau, pergi aja gih gue ga ngelarang," tambah gue.
"lo tau kan di sana gue bisa jadi sasaran empuk cewek-cewek?"
Gue cuma mengangguk dan sedikit tersenyum mengingat apa yang waktu itu terjadi pada Daniel. Ada seorang cewek cantik yang tergila-gila dengan Daniel dan menjebak Daniel di salah satu kamar hotel. Beruntung waktu itu Owen dan Noah sadar Daniel menghilang dan menyelamatkan Daniel.
"gausah senyum senyum luu" tangan Daniel mencubit pipi gue.
"lagian ribet banget sih. Kalau mau pergi yaa pergi, engga ya engga" tukas gue kesal.
"tau ah, lo ga ngerti. Percuma ngomong sama lo" kata Daniel sambil misuh-misuh. Ia mendorong mangkuk bubur ayamnya yang baru habis setengah menjauh.
Gue menghela napas, makan suapan terakhir bubur sambil menyomot kerupuk yang gak Daniel makan. Mulai deh tantrumnya anak ini. Gue melirik makanannya yang belum habis.
"hmmm...gimana yaa" ujar gue menimbang.
"Jangan pergi lah, bentar lagi UTS dan tidur lo juga ga teratur" lanjut gue akhirnya.
Daniel ga menjawab, dia hanya tersenyum lebar sambil menaikkan alisnya naik-turun.
"yaudah deh kalau lo maksa gue" kata Daniel akhirnya menghela napas sambil geleng-geleng jumawa.
Ketika dia tersenyum bibirnya membentuk dua tarikan garis dengan lesung pipi terbentuk hanya di sebelah kanan pipinya namun matanya masih kosong dengan garis menghitam di bawah matanya. Ya Tuhan, jika lelaki ini tidak tampan maka wajahnya sekarang terlihat menyeramkan. Ah, tidak, justru karena ketampanannya malah terasa meremang bulu roma gue,
"Dih, siapa yang maksa. Pergi lo sana" usir gue yang langsung berdiri dan hendak membayar bubur gue.
Daniel tersenyum lebar sambil memperhatikan gue yang sedang membayar tagihan bill pesanan yang kita pesan. Ia tertegun sejenak lalu berkutat dengan handphone di tangannya.
Owen
Wen, gue ga bisa datang. Nona ga ngebolehin.
Sent, 14.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Biru
Novela JuvenilMolly Moryan dan Daniel Harvey adalah teman masa kecil. Dua kepribadian yang bertolak belakang namun anehnya berteman membuat mereka menjadi tidak terpisahkan. Dari mereka berdua TK lalu berpisah pada saat SD dan bertemu lagi di saat mereka SMA DI s...