Part 1

97 7 14
                                    

Sani menatap ka arah cermin lamat-lamat. Ada yang aneh di sana. Benda putih itu. Sebuah kerudung yang membalut kepalanya hingga tak memperlihatkan sehelai rambut pun.

Ia mendengus kesal, kecewa terhadap nasib yang menimpa dirinya. Mengapa harus di sana? Begitu banyaknya tempat di dunia ini namun mengapa tempat itu menjadi pijakan selanjutnya? Sebenarnya apa salah dan dosanya? Ia terus mengulangi pertanyaan-pertanyaan yang sama di dalam hati.

Hari ini adalah hari pertamanya masuk SMA. Sekolah yang sama sekali tidak diharapkannya itu akan merekam masa-masa SMAnya selama tiga tahun. Masa yang katanya paling indah dalam hidup. Masa yang ingin segera dirasakannya sejak usianya masih sangat kecil. Namun kini rasanya ia ingin menjerit sekencang-kencangnya. Sayang, ia hanya bisa memendam kekecewaan ini dan menahan air agar tidak jatuh dari kedua pelupuk matanya. Berusaha meredam amarah yang sedang bergejolak hingga ubun-ubun. Karena ia tidak yakin bahwa masa-masa indah akan terjadi di sekolah itu.

     Ia mengutuk ibunya dalam hati. Mengapa harus di sana? Dari sekian banyaknya SMA yang ada, mengapa ibunya tega menjebloskan Sani ke sebuah SMA swasta yang berbasis Islam? Lagi-lagi pertanyaan itu dirapalkannya dalam hati.

     Ya, ia mengakui bahwa dalam bidang akademik dan fasilitas yang ada, sekolah ini memang jauh lebih baik daripada sekolah negeri. Hampir semua siswa yang masuk ke sini juga merupakan orang-orang yang jenius. Tidak sembarang orang dapat masuk ke sini karena sebelumnya di adakan tes masuk yang cukup sulit.

Dari sekian banyaknya pendaftar yang ada, hanya segelintir oranglah yang diterima. Sani termasuk ke dalam segelintir orang itu. Harusnya ia merasa beruntung. Harusnya ia merasa bersyukur. Namun tidak. Ia justru merasa dirugikan. Ia justru merasa dikutuk.

     Sani menghela napas dalam-dalam. Baiklah, yang pertama, ia masih bisa menerima bahwa sekolah itu memang sekolah swasta dengan harga selangit. Walaupun sebenarnya sekolah negeri terbagus se-Indonesia membuka pintunya lebar-lebar dan memudahkan Sani untuk masuk ke sana dengan harga yang sangat terjangkau---karena ia mendapat nilai UN kategori 5 besar se-Indonesia sehingga sekolah negeri mana pun bisa dengan mudah menerimanya.

Lihatlah, dari biaya saja ia merasa sangat dirugikan. Namun tak apa, dengan hati yang lapang, ia masih bisa menerima hal itu. Karena jujur saja biaya bukan masalah besar bagi keluarganya.

     Kedua, usaha menjelang UN yang mati-matian ia kerahkan dan berujung kepada hasil yang luar biasa. Nilai UN kategori 5 besar se-Indonesia yang kini sudah tidak berguna lagi karena nilai UN tidak menjadi perantaranya masuk ke sekolah ini. Ia tetap harus berusaha lagi karena harus menghadapi tes yang cukup sulit.

Berbeda dengan teman-teman SMPnya yang hanya tinggal masuk ke sekolah negeri dan menikmati masa SMA tanpa ada tes apapun. Namun tak apa, hal itu pun masih bisa ia terima. Dalam hal akademik memang harus dilatih sesering mungkin, jadi ia bisa menerimanya.

Namun yang ketiga, tuntutan ini. Benda putih yang bertengger di kepalanya ini selalu menjadi beban pikirannya. Sebuah kerudung yang tidak rela ia kenakan. Ia belum siap. Walaupun sebenarnya hal itu merupakan sebuah kewajiban, namun ia masih belum mengerti akan hal itu. Ia tidak peduli dengan ceramah-ceramah itu, ia hanya tidak ingin dipaksa. Karena tuntutan itu amat memberatkan hatinya. Kerudung ini terasa seperti merenggut sebagian kebebasannya. Menutupi rambut indahnya. Mengurangi kecantikannya. Ini satu-satunya hal yang tidak bisa ia terima.

Apalah daya karena nasi sudah menjadi bubur. Walaupun mati-matian ia berusaha menolaknya namun ia tetap tidak bisa melanggar janjinya sendiri. Beberapa bulan yang lalu kata-kata itu terucap. Di usia ibunya yang ke-40 tahun, Sani memberikan hadiah kepada sang ibu berupa sebuah permintaan. Sebelum ibunya mengucapkan apa yang ia minta, Sani sudah berjanji akan menurutinya. Alangkah tersentaknya hati Sani saat mendengar apa yang ibunya inginkan. Awalnya ia sempat memberontak, namun lagi-lagi ia teringat akan janji itu.

Chase and WaitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang