Part 3

67 4 9
                                    

“San, gimana perasaan kamu sekarang? Apa sama kayak pertama kali kita bertemu?” tanya Juan tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan rumah penduduk kota yang gemerlap cahaya lampu.

   “Masih sama. Bahkan aku semakin takut kehilangan kamu.” Jawab Sani yang kini memandang Juan.

   Suasana hening seketika.

   “Kalau sekarang aku tiba-tiba pergi gimana? Tanpa tau kapan kembali lagi?” tanya Juan hati-hati.

   “Aku akan kejar. Sejauh apa sih kamu bisa pergi?” Sani tersenyum getir.

   Juan menatap Sani dalam-dalam. Mereka saling menatap dalam waktu yang cukup lama.


    “Aku bakal pergi, San.”

     Deg!

     Jantung Sani seakan berhenti berdetak. Sesuatu yang tajam telah menusuk hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun beberapa detik kemudian ia tertawa miris. Tawa yang dipaksakan. Tawa yang membuat hati Juan terkoyak-koyak.

     “Aku bercanda kali, ngapain pake pingin kamu buktiin segala? Aku lagi males ah!Cape! Kejar-kejaran malem-malem gini.” Sani juga bingung dengan kata-katanya sendiri.

     Juan mendekat dan menggenggam kedua tangan Sani erat-erat.

     “Aku bakal pergi, San. Aku bakal pulang. Bukan ke rumah yang sekarang, tapi ke Berlin.”

     Sani tersentak. Air matanya berjatuhan seiring dengan matanya yang membulat tak percaya. Ia berusaha melepasankan genggaman tangan Juan. Namun percuma, tenaganya masih kalah kuat dengan Juan yang bersikeras mempertahankan tangan yang gemetaran itu agar tetap terkait di kedua tangannya.

     “Dengerin aku dulu, San.”tahan Juan diikuti Sani yang kembali memberontak memintan Juan melepaskan genggemannya.

     “DIEM! DENGERIN AKU DULU!”

     Bentakan Juan di sertai tatapan matanya yang penuh penekanan berhasil membuat Sani terdiam. Sani menatap Juan antara takut dan sedikit terkejut.

     “Ka-kamu marah?” tanya Sani dengan nada getir.

     Juan menghembuskan napas berat. Kini kedua tangannya berpindah memegang erat kedua bahu Sani yang membuat jarak mereka semakin dekat. Juan mulai melembutkan tatapannya. Mereka saling memandang dengan kepedihan yang sama.

     "Tolong dengar dulu penjelasan aku." Pinta Juan yang hanya dibalas kebungkaman oleh Sani.

     “San, saat awal pernikahan kedua orangtuaku dulu,  sebenernya ayah pengen bawa ibu ke Berlin dan menetap di sana. Tapi karena ibu memohon buat tetap tinggal di Indonesia akhirnya ayah menurut juga. Dan 2 tahun yang lalu ketika ibu meninggal, ayah berniat bawa aku pergi ke Berlin dan seterusnya menetap di sana. Tapi aku gak mau pergi. Aku berusaha mengulur waktu. Aku janji ke ayah aku bakal ikut ke Berlin ketika aku naik ke kelas 3 SMP. Dan akhirnya ayah memutuskan untuk pergi ke berlin duluan karena ia mendapat tugas mengurus salah satu cabang bisnis keluarga besarnya sedangkan aku tinggal di rumah adiknya ibu.”Juan berhenti sejenak.

     “Tapi kamu gak pernah bilang kalau kamu tinggal di rumah bibi kamu. Kamu cuma bilang kalau ibu kamu meninggal dan kamu tinggal sama ayah kamu.” Sani mengatakan apa yang pernah Juan katakan kepadanya yang ternyata tidak sepenuhnya benar.

     “Ya, waktu itu aku belum bisa percaya buat membagikan tentang hidup aku seutuhnya kepada orang lain. Tapi saat aku benar-benar menganggap kamu penting, sayangnya aku lupa buat ngasih kamu tentang hal itu.”

Chase and WaitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang