Suara dentingan bel yang nyaring seketika menimbulkan sorak kemenangan dari seluruh siswa. Mereka dengan antusias keluar dari ruang kelas dan menuju ke tempat tujuannya masing-masing.
Sebagian besar memilih untuk memenuhi masjid atau mushala seraya melaksanakan shalat Dhuha, setelah itu mereka bergegas ke kantin ataupun sebaliknya. Ada pula yang pergi ke perpustakaan untuk menggali ilmu lebih dalam atau bahkan ada yang memilih untuk duduk terpaku di kelas seperti apa yang dilakukan Sani sekarang.
Ia hanya duduk terpaku sambil menopang dagu. Ia menatap kosong ke arah papan tulis yang penuh coretan. Beberapa temannya yang masih di kelas memandang Sani dengan perasaan takut dan kasihan. Namun akhirnya ada dua temannya--Husna dan Kiara yang memberanikan diri menyapa dan mengajak Sani ke kantin.
"Halo Sani. Mau ikut ke kantin?"tanya Husna hati-hati.
Sani hanya terdiam seakan tak mendengar apapun. Sedangkan Husna dan Kiara saling memandang dengan bingung.
"Sani, kita makan bareng di kantin yuk!" ajak Kiara dengan kehati-hatian yang sama.
Masih tidak ada respon.
"Sani, kita-"
"PERGI!!!"Semua orang yang masih berada di kelas terperanjat kaget mendengar teriakkan Sani.
"Kenapa harus teriak-teriak, San? Kalau gak mau kan kamu bisa ngomong baik-baik." tegur Wildan--KM Garuda 7.
Sani melempar tatapan tajam ke arah Widan kemudian ia mengalihkan pandangannya kepada Husna dan Kiara.
"Gak!" jawab Sani ketus kemudian ia menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangan yang terlipat di atas meja.
Semua orang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Sani. Satu-persatu dari mereka beranjak meninggalkan kelas hingga hanya Sani seorang yang berada di dalamnya.
Sani mengangkat kepalanya dan memperhatikan keadaan kelas. Kosong. Dalam kesendirian ini, ia kembali mengingat kejadian tadi malam. Saat ia dan Juan mengakhiri hubungannya. Saat ia berkata bahwa ia tidak ingin melihat wajah Juan lagi untuk selamanya. Air mata perlahan jatuh membasahi kedua pipinya.
Semakin lama tangisnya semakin pecah. Ia benci dengan apa yang harus terjadi. Di mulai dari sekolah ini, dan kini merembet kepada hal lainnya. Apa lagi kesakitan yang selanjutnya akan ia rasakan? Kini ia merasa hancur karena harus kehilangan cintanya, satu-satunya harapan, dan orang yang ia kira mengerti akan dirinya. Nasib baik sedang tak berpihak kepadanya. Inikah yang dinamakan musibah? Atau justru cobaan berujung manis yang belum dipahaminya?
Sani menangis tersedu-sedu sambil berusaha menahan perih yang menghujam dadanya.
Beberapa menit menuju bel masuk, para siswa kembali memasuki ruang kelas. Semua orang yang ada di kelas lagi-lagi dikejutkan dengan keadaan Sani sekarang. Mata yang sembab dengan suara tangis yang tak kunjung mereda. Beberapa teman perempuan menghampirinya dan menanyai keadaannya.
"Kenapa ,San?" tanya Dara panik.
"Kamu lagi ada masalah? Cerita aja.." tawar Reni sambil mengelus-elus punggung Sani.
Wildan beranjak keluar kelas dan bersegera memanggil wali kelas Garuda 7. Sedangkan Sani masih terisak dalam tangisnya.
"San, yang sabar yaa.. Perbanyak istighfar." Jihan mencoba menenangkan.
"Iya, San. Insya Allah ada jalan keluar dari setiap masalah." Kini Qori bersuara.
"Berdo'a aja semoga dikuatkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chase and Wait
SpiritualBagaimana jadinya seorang gadis yang terbiasa bertindak semaunya tiba-tiba dijebloskan sang ibu ke sebuah SMA swasta berbasis Islam? Dengan keterpaksaan ia menerima keputusan ibunya itu dan melewati hari-hari sulit yang diisinya dengan berbuat kekac...