Sani mendongakkan kepalanya menatap langit. Langit masih kelam seperti tadi pagi padahal waktu telah menujukkan pukul 2 siang.
Sebuah bis bewarna biru menghampiri halte yang tengah didiami Sani. Tanpa instruksi Sani melangkahkan kakinya memasuki pintu bis dan duduk di bangku belakang.
Ia menghembuskan napas berat. Sungguh hari yang menyebalkan. Sani beranjak mengeluarkan handphonenya dari saku kemeja namun diurungkannya. Ia tidak ingin melihat notifikasi apapun dari temannya yang pasti akan membuat moodnya semakin buruk. Bayangkan saja jika moodnya bertambah buruk tanpa ragu ia akan mengamuk dan mengacak-acak bis ini, karena saat ia marah semua orang terasa menyebalkan di matanya.
Beberapa menit kemudian handphone Sani bergetar singkat. Ia tidak mempedulikannya dan memilih untuk tidur. Ia membutuhkan waktu yag cukup lama untuk sampai ke rumah, yaitu sekitar dua jam. Rumahnya terletak sekitar 10 km dari SMA Bima Sakti yang memang terletak di pusat kota.
Satu jam kemudian Sani terbangun dari tidurnya. Ia mendongakkan kepalanya ke jendela untuk memastikan sejauh mana bis yang ditumpanginya berjalan. Ternyata kini ia berada di Jalan Dewata, sekitar 6 km lagi menuju rumahnya. Sani mengangguk wajar karena tampaknya jalanan memang sedikit macet.
Sani meraih handphonenya dari saku kemeja. Ia menekan tombol kunci dan menatap benda berlayar persegi panjang itu. Pukul 15.03, dibawahnya tertera sebuah pesan dari line bertuliskan nama “Juanku”. Sani terperanjat kaget. Juan!? Benarkah!?
Dengan sigap ia membuka pesan dari orang yang telah lama ditunggu-tunggunya itu.
Apa kabar Sani? Maaf aku baru bisa bales pesan kamu sekarang. Ya, aku udah pulang dari Berlin. Kamu kangen ya? Sama, bahkan aku lebih kangen. San, kalau kamu punya waktu, bisa gak kita ketemuan sore nanti? Kalau kamu bisa, tolong datang ke tempat biasa jam 5 sore. Aku tunggu kamu di sana.
I miss you
Sani menepuk-nepuk pipinya tidak percaya. Ia membaca pesan itu sekali lagi. Ia menjerit tertahan karena begitu senangnya.
Akhirnya Juan kembali. Akhirnya akan ada orang yang menguatkannya di masa-masa sulit ini. Semoga ini memang bukan mimpi. Semoga setelah ini semuanya akan menjadi lebih baik.
Dengan kehadiran Juan di sisinya lagi, Sani akan berdiri lebih kuat dari hari ini. Ia sungguh berharap waktu berjalan lebih cepat. Rasanya ia ingin menyingkirkan supir bis ini dan mengendarai bisnya dengan kecepatan penuh. Biarlah semua orang menjerit panik, sedangkan ia akan menjerit bahagia.
Sani terkekeh geli membayangkan ide gilanya. Mau tidak mau ia menunggu dengan sabar sampai bis ini benar-benar berhenti di halte dekat rumahnya.
“Juan, tunggu aku! I miss you too!” jeritnya dalam hati.
***
Sani menatap dirinya lagi di cermin. Ia masih menggunakan cermin yang sama namun dengan perasaan dan penampilan yang berbeda.
Jika tadi pagi ia merasa berat melihat penampilannya, kini ia merasa sangat bangga dan bahagia. Jika tadi pagi ia mengenakan pakaian yang serba tertutup, kini ia mengenakan pakaian yang cukup terbuka. Ia dengan bebas bisa memamerkan rambut panjang hitamnya yang bergelombang sempurna.
Sore ini Sani mengenakan sebuah dress abu berlengan sesiku dan rok selutut. Sepatu pendek dengan warna senada dipilihnya untuk menemani setiap langkah menuju pertemuan istimewa itu. Tas selendang berwarna silver telah menggantung di bahunya. Tak lupa ia memoles wajahnya dengan make-up sederhana yang menumbuhkan kesan alami. Ya, inilah dirinya. Sani yang selalu membuat siapapun terkagum-kagum akan kecantikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chase and Wait
SpiritualBagaimana jadinya seorang gadis yang terbiasa bertindak semaunya tiba-tiba dijebloskan sang ibu ke sebuah SMA swasta berbasis Islam? Dengan keterpaksaan ia menerima keputusan ibunya itu dan melewati hari-hari sulit yang diisinya dengan berbuat kekac...