Chapter 2.1

2.1K 150 6
                                    

Marcus terlihat berbeda malam ini. Dia diam sepanjang perjalanan pulang. Sejak aku masuk ke mobil, tidak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Apakah ada yang salah denganku sampai dia mendiamkan aku seperti ini.

Sesampainya di Apartemen, dia segera melempar tubuhnya ke sofa tanpa melepas sepatu dan jasnya lebih dulu. Aku khawatir melihat dia seperti itu.  Apa yang terjadi dengannya  sampai membuat dia kusut seperti ini.

Aku baru saja selesai mandi saat kudengar Marcus mengigau di sofa. Tidak biasanya dia mengigau seperti itu, akupun keluar untuk mencari tahu.

"Mark, bangun!" seruku tepat di atas kepalanya yang dia sandarkan di pojokan sofa. Marcus tidak merespon ucapanku, dia masih saja diam seperti itu.

"MARK! Apa aku punya salah sama kamu sampai dirimu mendiamkan aku seperti ini!" Umpatku.

Marcus membuka matanya perlahan, "Kamu nggak salah, " balasnya lirih hampir tidak terdengar.

"Are You, Ok?"

"Yes," jawabya singkat.  Matanya kembali tertutup.

"Oh ya, kamu bilang kalau Daniel dan Tiffany datang ke Indonesia. "

Tidak ada sahutan dari Marcus, aku semakin panik. Apa mungkin dia sakit.

" Mark, jangan buat aku  khawatir. Kamu kenapa sih?" Marcus kembali membuka matanya, dia menatapku tajam. Aku segera mengalihkan pandanganku,  sesuatu tiba-tiba saja mengusik hatiku.

"I'm, Ok." Marcus bangun dan menyandarkan kepalanya kembali ke sofa.

Aku ragu dengan jawaban Marcus. Tanpa seijin dia aku pun memegang keningnya. Tanganku seperti baru memegang panci dari atas kompor. Panas sekali. Bisa di pastikan kalau dia demam. Aku segera menuju kotak P3K. Mengambil termometer untuk mengukur suhu badannya, 39.9°C. Oh my God. Ternyata dari tadi dia sudah tidak enak badan dan aku tidak menyadarinya.

"Mark, kenapa kamu nggak ngomong kalau sakit!"

"Don't worry." Ucapnya lirih. Matanya masih terpejam. Wajahnya terlihat sangat pucat.

Aku melepaskan sepatunya, dan mengambil air untuk mengompres keningnya.

"Mark, lebih baik lo tidur dikamar gue. Di luar dingin, besok kalau panasnya belum turun, kita ke Dokter,"

"Nggak perlu, kalau gue tidur di kamar. Kamu tidur di mana? "

"Udah nurut aja, nggak usah protes!"

Aku memapah Marcus sekuat tenaga. Sakit saja dia seberat ini, apalagi kalau sehat. Huft! Setengah jam sudah berlalu tapi suhu badannya tidak turun juga. Sepertinya aku akan begadang di malam natal  ini.

***

Aku terkejut saat kulihat Joo duduk dilantai dengan tangan kiri memegang termometer dan tangan kanan menggenggam handuk kecil. Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Sudah hampir tengah malam.

Baru saja aku ingin memindahkan Joo ke tempat tidur, tiba-tiba saja dia membuka matanya. Menatapku dengan raut wajah aneh. Tersenyum padaku dan memegang keningku.

" Finally," gumamnya," Kamu mau makan, Mark? tadi aku buatin bubur. Biar aku panasin." Joo bangun dan berlalu dari hadapanku. Aku mengikutinya dari belakang.

Joo tampak cantik dengan rambut cepol dan piyamanya. Aku berjalan mendekatinya dengan hati-hati. Sesampainya di belakangnya, aku pun memeluknya dari belakang.

"Merry Christmas." Bisikku lembut.

"Mark," Joo melepaskan pelukanku dan berbalik secara tiba-tiba. Hingga membuat bibirku dan bibirnya bertautan. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kutarik tubuhnya lebih dekat denganku.

"Makasih sudah ada untukku disaat aku butuh perhatian,"

Joo diam, dia tidak melepaskan pelukanku seperti tadi. Justru perlahan tangannya mendekap tubuhku.

"Merry Christmas, Mark." Bisiknya lembut. Aku mempererat pelukanku dan mencium ujung kepala Patricia.

***

Kami menghabiskan malam natal dengan menonton film. Suasana agak canggung setelah kejadian di dapur tadi. Joo lebih banyak diam, matanya fokus ke layar kaca.

"Joo, kamu terlihat cantik tanpa make-up." Ucapku asal-asalan. Aku hanya berniat mencairkan kebekuan yang terjadi.

"Jadi kamu mau bilang kalau aku nggak bisa dandan, GITU!" umpatnya. Aku tersenyum menanggapi umpatan Joo.

" Ada yang lucu!?" lanjutnya.

"Akhirnya istri kesayanganku normal lagi, aku kira kamu akan mendiamkanku sampai besok." Balasku dengan senyuman yang masih mengembang di bibirku.

"Apa kamu bahagia kalau aku diam."

" Nggak. Aku bakalan sedih.  Makasih ya, aku bahagia sekali merayakan natal tahun ini. Berkat dirimu, aku merasa hidup sekarang."

"Memang selama ini kamu mati, Mark?"

" Dulu, saat aku sakit tidak pernah ada seorangpun yang memperdulikan ku. Eomma selalu menyuruh suster Mary untuk merawatku. " Aku menghentikan ceritaku, rasanya sakit sekali mengingat itu semua. Eomma memperlakukan aku seperti anak tiri, dia tidak pernah menyentuhku. Beda dengan Daniel dan Tiffany yang selalu dia timang dari bayi. Bahkan Eomma banggakan mereka  di depan kerabat dan teman-temannya." Ternyata seperti rasanya punya istri, thanks beb," aku mengecup punggung tangan Joo dan masuk ke dapur. Aku tidak mau dia melihat aku menangis, aku selalu menangis setiap mengingat perlakuan Eomma kepadaku. Cengeng memang tapi luka itu terlanjur membekas di hatiku. Apakah aku bukan anak kandungnya. Entahlah , semakin aku rasakan, dadaku semakin sesak. Baiknya aku ke kamar mandi dan mencuci mukaku.

"Udah nangisnya, Mark."

"Sorry beb, I'm not crying." Dari mana perempuan itu tahu kalau aku menangis tadi.

"Kadang, ada saat di mana kamu nggak selalu kuat. Menangis nggak selalu identik dengan cengeng kok. Dari pada nyesek, nanti malah jadi penyakit." Ujar Joo, dia mendekat dan merangkulku. " You're my best husband. " Lanjutnya.

"Baru sadar, kemarin kemana aja," candaku.

Joo melepaskan tangannya dari bahuku dan memukul lenganku.

"Udah dong mukulnya,  it's hurt you know."

"I don't know. "

Dia pergi meninggalkan aku sendirian di dapur.  Kali ini aku tidak tinggal diam, aku mengejarnya dan menggenggam erat jemarinya.

"Jangan cari ribut, Mark."

"Nggak.  Aku cari cinta di sela jemari ini."

Joo tersenyum dan melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Belum saatnya sela jemariku diisi cinta, Mark. Good night. Merry Christmas my dear husband." Satu kecupan di pipi kiriku mendarat begitu saja. Aku mencubit lenganku, apa ini mimpi, ouch lenganku terasa sakit. Ternyata aku tidak bermimpi. Dasar perempuan aneh, dia bilang belum saatnya sela jemarinya di isi dengan cinta tapi kenapa tiba-tiba dia mencium pipiku.

Merry Christmas buat yang merayakan.

Terima Kasih sudah mampir sampai sini. Tunggu lanjutannya, Jangan lupa kritik,saran,dan votenya. Terimakasih.

Kiss kiss



Secret Marriage (Seokyu version) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang