Pedati hampir kosong, hanya tinggal setandan pisang, dua karung beras dan beberapa butir kelapa yang masih teronggok di sudut bak pedati. Aku sengaja tidak menghabiskan isi pedati karena masih ada dua manusia yang harus kuingat nasibnya; Nyai Prambon dan Wongso Ngadiman. Dua orang itu sangat berjasa bagiku. Yang satu mendidikku, satunya lagi membesarkanku.
Kamiran menghentikan pedati di depan rumah gedek berwarna kapur. Pintu dengan dua daun itu terbuka sebelah, pertanda penghuni rumah tidak ke mana-mana. Kamiran menurunkanku dari pedati sebelum mengangkut sekarung beras dan dua butir kelapa ke dalam rumah.
"Yungalah, Nduk. Sudah lama kamu tidak kemari. Bagaimana kabarmu?"
Seorang perempuan membopong seekor babon hitam muncul dari samping rumah, rupanya suara gedabruk beras dan kelapa yang diturunkan Kamiran mengundang perhatiannya.
"Sehat, Nyai. Kamu sendiri bagaimana?"
Aku memeluk Nyai Prambon dengan erat. Kupandangi wajah perempuan yang memberiku banyak ilmu itu lekat-lekat. Kulitnya sudah mulai dimakan usia, ada kerut halus di sana-sini, luput dari pupur yang berusaha keras menyembunyikannya. Bibir yang dahulu berhias gincu merah kini tergantikan oleh merah sirih.
"Dari mana saja kamu, Nduk?" ujarnya sambil menengok Kamiran yang sudah kembali duduk di atas pedati, terlihat benar dia ingin segera pergi. "Kamu pasti baru saja membagi-bagikan bahan makanan untuk orang-orang. Berhentilah mengamburkan uang untuk mereka, Rah. Mulailah untuk memikirkan dirimu sendiri." Dia menuntunku masuk, mendudukkanku pada kursi kayu—satu-satunya perabotan yang ada di ruang itu. "Orang-orang itu sudah terlalu banyak kaubantu," ucapnya lagi.
"Tidak apa-apa, Nyai. Aku tidak perlu memikirkannya. Nasibku sudah ada jalannya sendiri. Justru merekalah yang harus kupikirkan nasibnya. Lagi pula, mumpung Gusti Allah masih memberiku rejeki, sudah sepantasnya aku berbagi. Sungguh, jika malam tiba, pikiranku tidak tenang membayangankan wajah-wajah melas orang kelaparan yang kutemui. Itu tidak bisa membuatku tidur nyenyak."
"Bagaimana kabar Tuan Murray? Apakah dia masih mencintaimu?"
"Dia baik-baik saja, Nyai. Entahlah. Apakah perlu mengetahui dia masih mencintaiku atau tidak? Gundik macam kita tidak harus memikirkan cinta. Asal urusan rumah dan ranjang tidak mendapat cela, tidak perlu mengurus perkara itu."
Nyai Prambon menggeleng-gelengkan kepala lalu masuk ke dapur. Sebenarnya bukan dapur, hanya bagian belakang rumah yang hanya dibatasi secarik kain hijau sebagai sekat antara ruang untuk tamu dan ruangan berisi tungku serta peralatan memasak. Ia kembali dengan segelas kopi untukku.
"Lihat diriku, Rah." Nyai Prambon duduk di sampingku lalu meraih tanganku. "Tidak kurang-kurang aku memberitahumu. Selagi kau masih menjadi nyai dan hidup dengan pria Belanda itu, mulailah memikirkan masa depanmu. Buat majikanmu itu tunduk dan mencintaimu selama mungkin."
"Untuk itu aku tidak perlu khawatir, Mbok. Wongso Ngadiman bisa mengurusnya. Dia pandai memikat hati gemblak-gemblaknya. Urusan hati Tuan Murray tentu saja bukanlah hal yang rumit. Dia bisa menjaganya untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadirah (TAMAT)
Historical FictionCerita ini berkisah tentang seorang gadis bernama Sadirah, anak seorang warok bernama Wongso Ngadiman. Cinta masa kecilnya kepada Ismangil harus kandas ketika bapaknya menyerahkan dirinya kepada Tuan Murray, seorang lelaki Belanda yang menginginkan...