Pedati yang dikusiri Kamiran berhenti di pemberhentian terakhir. Sebuah joglo, rumah milik Wongso Ngadiman, tempatku dibesarkan. Aku tidak segera turun, pandanganku tertuju pada pohon belimbing yang sudah ada di sana sebelum aku ada. Pohon itu tumbuh dengan gagah di depan rumah itu. Kuamat-amati buahnya yang berjatuhan, membusuk dan mengering, sebagian utuh sebagian lagi dimakan codot. Dahulu, aku suka memanjat dahannya, memetik buah yang sudah matang dan paling besar lalu memakannya di atas pohon, persis seperti kera di hutan Gunung Wilis. Tidak ada yang suka buah belimbing kecuali aku dan codot-codot penguasa malam. Ah, sayang sekali. Kini buah pohon itu terbuang percuma.
"Rah? Apa itu kamu?"
Suara berat lelaki terdengar dari dalam rumah, perlahan-lahan sosoknya terlihat. Kurus, tetapi tegap, dengan janggut panjang yang mulai berhias uban. Aku bergeming, duduk di atas pedati mengindahkan pertanyaan bapak. Justru Kamiranlah yang menjawab pertanyaan itu. "Iya, ini Sadirah yang datang, Pak." Kemudian ia melompat turun dari pedati dan mendapatkan tangan bapak serta menciumnya.
Bapak mengangguk, lalu berbalik. "Turunlah, jika kedatanganmu ini atas sepengetahuan Tuan Murray. Jika tidak, segera putar pedatimu dan kembali ke Geger."
Kamiran kebingungan. Dia menangkap air mukaku yang keruh, untuk sekadar melihat wajah bapak saja aku enggan, apalagi turun dan menghampirinya. Urusanku kemari hanya untuk mengantar beras dan kedelai, bukan untuk bertemu dan bercakap-cakap dengannya.
"Ayo turun, Rah. tidak baik seperti itu."
"Buat apa, Kang? Kamu sendiri dengar omongannya. Turunkan saja beras dan kedelainya dan segera kita kembali. Kamu sendiri tahu, aku ke sini tanpa sepengetahuan Tuan Murray. Jadi, tunggu apa lagi? Itu permintaan Bapak."
"Sudahlah, Wong Ayu. Jangan keraskan hatimu. Lagi pula, Simbokmu pasti kangen. Apakah kau tidak ingin menemuinya?"
"Kangen? Seumur hidup, Simbok tidak akan pernah kangen kepadaku. Kamu itu lucu, Kang, sudah bertahun-tahun hidup serumah masih saja pura-pura tidak tahu bagaimana Simbok."
Kamiran datang mendekat, menepuk-nepuk kaki dan memasang selopku. Matanya lekat menatapku, seperti mata anak kucing meminta makan, memelas.
"Kalau begitu, tinggallah beberapa saat demi aku. Nyai, junjunganku, tidakkah kamu kasihan kepada Kamiran?"
Aku mendesah, tak tahan melihat tingkah Kamiran. Jika bukan karena rasa rindu seorang gemblak kepada majikannya, aku tak akan sudi menjejakkan kaki di rumah ini. Aku tahu Kamiran sudah menyimpan rindu yang teramat sangat kepada bapak, aku bisa melihat dari dua bola matanya yang berbinar ketika ia mendengar suara berat lelaki yang disayanginya tadi. Aku mengangguk setuju. Kamiran pun girang bukan kepalang, ia berjingkat-jingkat menari seperti anak kecil lalu memikul karung beras ke dalam rumah. Kuikuti dia dari belakang dengan enggan.
Aku tidak menyapa bapak yang sudah dibuat sibuk oleh cerita Kamiran di ruang tamu. Dua manusia yang tenggelam dalam ruang rindu itu biarlah bercengkrama. Aku berjalan melewati mereka dan menghampiri simbok yang sedang memasak di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadirah (TAMAT)
Historical FictionCerita ini berkisah tentang seorang gadis bernama Sadirah, anak seorang warok bernama Wongso Ngadiman. Cinta masa kecilnya kepada Ismangil harus kandas ketika bapaknya menyerahkan dirinya kepada Tuan Murray, seorang lelaki Belanda yang menginginkan...