Aku melihat dari balik kain pemisah dapur, bayangan bapak mengeluarkan ciu dari lemari. Dua buah cawan ada di hadapan mereka. Kamiran dengan cekatan menuang arak pada gelas keramik pendek berwaran putih, seperti seorang perempuan nakal di tempat pelesiran lalu menghunjukkannya kepada bapak dengan manja.
"Kang, hari masih terang. Aku masih membutuhkanmu untuk mengusiri pedati kembali ke Geger."
Kamiran berhenti menuangkan ciu dalam cawan, memandangku yang berdiri di balik tirai, kemudian memandang bapak.
"Satu teguk tidak akan membuatnya mabuk, Rah. Sudah, kembalilah ke dapur bersama simbokmu." Bapak memberi isyarat kepada Kamiran untuk melanjutkan lagi menuang ciu. "Kamiran masih kangen kepadaku, nanti jika matahari sudah mendekati puncak kepala barulah kalian pulang."
Pemandangan rumah ini membuatku penat, maka aku memilih untuk pergi ke seberang sungai. Kubiarkan Kamiran dan bapak melepas rindu, juga simbok yang masih mau meratapi nasib.
Sungai di belakang rumah memang besar, tetapi sedikit dialiri air. Sejak pemerintah Hindia Belanda membendung sungai dan membelokkan airnya pada kanal-kanal kecil, sungai ini terlihat lebih mirip jalan berbatu. Air yang lolos dari bendungan mengalir ke sungai, alirannya kecil dan menjadi rebutan orang-orang Mruwak. Masing-masing orang membuat kubangan, menampung air untuk mengairi sawahnya. Tentu saja yang berada di bawah mencak-mencak karena air sudah habis sebelum mencapai tempat mereka. Jika saja bapak tidak mengatur pembagian air, pasti sudah terjadi baku hantam rebutan air. Untungnya, suara bapak masih didengar. Orang-orang yang tinggal di atas mau berbagi dengan yang tinggal di bawah.
Kurendam kakiku pada air sungai yang dingin, membiarkan anak-anak wader menggigiti tumitku. Bebek-bebek Pak Sukir ramai berebut kodok dan cacing di pinggir sungai. Dahulu, aku kerap membuntuti bebek-bebek itu, mengambil satu atau dua butir telur betina yang tak mau beretelur di kandang. Simbok sering memarahiku ketika tahu yang kugoreng di dapurnya adalah telur bebek Pak Sukir.
Kudengar anjing-anjing menggonggong di kejauhan, berlarian di tepi sawah yang kering. Di antara suara gonggongan anjing itu ada suara beberapa laki-laki berteriak. Aku bergegas naik ke pematang sungai, mencari tahu apa yang terjadi.
Kira-kira empat petak sawah jauhnya, di dekat bendungan, kulihat beberapa lelaki baku hantam. Jumlahnya mungkin lebih dari sepuluh orang. Dua orang lelaki berbadan gempal terkurung dalam lingkaran, masing-masing memegang golok, bersiap menerima serangan dari lelaki lain yang mengepungnya. Dari penampakannya, aku yakin jika dua orang yang terkepung itu adalah centeng Belanda.
Kurundukkan badan di antara batang-batang padi kurus, menonton perkelahian itu. Kulihat satu orang yang paling berani, lelaki yang berbadan tegap mengayunkan batang kayu ke arah dua centeng gempal dengan bertubi-tubi. Teman-temannya yang lain mengikuti, juga dua ekor anjing yang menyertai mereka menyalak mencari kesempatan menyerang.
Meskipun terkepung, nampaknya centeng-centeng itu cukup tangguh menahan gempuran lawan. Berkali-kali mereka berhasil menghindar, bahkan berusaha menyabetkan golok sebelum kembali menangkis serangan dari arah lain. Kudengar ada yang menjerit lalu mundur, satu orang terkena sabetan golok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadirah (TAMAT)
Historical FictionCerita ini berkisah tentang seorang gadis bernama Sadirah, anak seorang warok bernama Wongso Ngadiman. Cinta masa kecilnya kepada Ismangil harus kandas ketika bapaknya menyerahkan dirinya kepada Tuan Murray, seorang lelaki Belanda yang menginginkan...