Salam sejahtera teman-teman pembaca,
Izinkan saya melakukan ritual setiap kali saya menyelesaikan sebuah novel ya ...
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada Gusti Yesus yang sudah memberi saya minat untuk menulis novel. Saya sadar, saya bukan penulis yang berbakat. Namun, dengan minat yang begitu besar agar bisa menulis, dalam dua tahun belakangan ini empat novel sudah saya selesaikan (Kembang Kawisari, Melodi Musim Semi, Sadirah, dan Bakiak Maryam) dan puluhan cerita pendek. Atas izin Yang Kuasa, saya pun memetik hasilnya. Salah satu novel saya, Sadirah, berhasil memenangi even Bulan Menulis Storial yang diadakan November 2017 lalu. Sebagai rasa syukur, saya kemudian membagi novel ini di platform wattpad.
Kedua, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang tidak bisa saya sebut satu per satu; baik itu dari storial, pembaca wattpad yang sudah repot ngikutin saya kemari dan bikin akun storial agar bisa memberi jempol, dan teman-teman lari saya yang terpaksa menjadi silent reader dengan tekanan (mereka baca karena saya mengancam mereka). I really appreciate your enthusiasm! Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca, memberikan komen yang manis, memberikan jempol, dan memberi rating.
Ketiga, untuk komunitas menulis Dimensi Kata tempat saya bernaung dengan para begundal bermulut siletnya; Nara, Jet, Tutut, Tia, Elqi, Mak Demia, dan DanIswanda. Terima kasih untuk mulut pedas kalian yang mencaci maki tulisan saya selama hampir dua tahun ini. Kalian ibaratnya penjunan dan saya tanah liat. Lihat! Tanah liat itu sudah menjadi periuk yang elok sekarang! Kerja keras kalian membuahkan hasil!
Saya mau cerita sedikit tentang novel yang saya tulis ini. Sebenarnya, ide untuk menulis Sadirah datang setelah saya diajak mengunjungi kerabat saya di Madiun saat lebaran 2017 lalu. Ini pertama kali saya bersilaturahmi dengan keluarga besar yang istilahnya sudah pati obor. Rumahnya ada di kaki Gunung Wilis. Selama tiga hari saya di sana, saya mendapat banyak sekali cerita tentang moyang dan keluarga jauh. Saya takjub dengan nama-nama mereka, seperti Sobirah, Kamiran, Sujinah, Wongso Ngadiman, Sadirah, Katiyem, Suro Kusmin, Sutini, Katimah, Suroto, Juminten, Katijah-Akad, Ngaliyatmo, Kromo Kusran, Ismangil, Tukirah, Soemini, Sarbun, dan Benu. Dari situ, saya tergelitik untuk memakai nama-nama moyang saya sebagai nama tokoh dalam sebuah cerita, sebagai bentuk penghormatan dan agar saya tidak lupa pada akar saya.
Kemudian saya mengumpulkan citra yang saya lihat selama di Madiun. Di sana ada pabrik gula, kebun tebu, sawah, sungai, nama-nama desa (Prambon, Jetis, Mruwak), Gunung Wilis, dokar, dan lain sebagainya. Kebetulan saya baru saja membaca kembali Bumi Manusia karya Pram, lalu timbul ide, kenapa tidak menulis dengan setting zaman kolonial dengan lokasi Madiun? Nah, karena dasarnya saya suka menulis tema kedaerahan, akhirnya saya membuat draft awal novel Sadirah.
Saya mulai menhutak-atik apa yang bisa diangkat dalam cerita. Madiun, tidak jauh dari Ponorogo yang terkenal dengan reognya. Kenapa tidak mengangkat budaya reog sebagai setting intinya? Saya yakin, teman-teman juga belum sepenuhnya tahu tentang reog dan budaya di dalamnya. Saya pun mulai menulis. Namun, setelah saya selesai satu bab, saya mandeg. Saya kebingungan mau ngelanjutinnya gimana. Akhirnya, menjelang akhir bulan Oktober, muncullah event BNNS2017 di stroial. Draft awal yang acak-acakan pun saya rapikan lagi dan kembali melanjutkan tulisan ini.
Saat saya menulis, banyak buku yang saya baca dan menjadi inspirasi, di antaranya sudah tentu Bumi Manusia. Buku yang lain adalah Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami yang saya pakai untuk mendalami karakter Sadirah. Kemudian ada Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, caranya menebar plot membuat saya kagum dan mencoba menerapkannya dalam novel ini, yang entah gagal atau enggak, saya tidak tahu. Lalu, ada Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya penulis favorit saya. Saya terinspirasi oleh cara khas Mbah Ahmad Tohari membawakan novel dengan adem. Selain buku-buku tersebut, saya juga riset kecil-kecilan dari literatur daring. Bertanya pada budhe dan paklik bila ada hal yang tidak saya mengerti adalah keharusan. Saya enggak mau ngawur kalau urusan riset. Semuanya harus bisa dipertanggungjawabkan.
Sekarang berbicara masalah kendala. Kesulitan yang saya alami tentu saja dengan waktu yang terbatas. Dalam 30 hari, saya harus menyelesaikan minimal 50.000 kata. Selain menjadi kesulitan, ini juga menjadi tantangan bagi saya. FYI, novel saya yang terdahulu selesai dalam waktu satu tahun! Waktu terbesar yang saya habiskan adalah untuk mencari data dan riset. Kadang saya pesimis, ya sudahlah kalau enggak selesai biarkan, toh pada akhirnya saya jadi punya sebuah draft novel.
Setiap hari selama 30 hari, setiap pulang kerja saya 'pacaran' dengan laptop. Jangan tanya kecemburuan yang dirasakan orang terdekat saya! Pastinya ngamuk-ngamuk. Selain itu, kelebihan jari saya yang bergerak lebih cepat dari otak membuat typo di mana-mana, juga mendadi kesulitan sendiri. Bayangkan, nulis santai aja typo, apalagi nulis sambil dikejar deadline! Apalagi, yang paling 'mbencekno' kalau kata orang Surabaya, banner countdown yang selalu muncul setiap membuka laman storial benar-benar membuat pengen kebelet pipis. Setelah saya selesai, saya tebar horror dengan mengcapture banner counting down tersebut dan mengirimkan pada peserta, teman-teman yang saya kenal. Iseng banget ya Jo? Enggak, dia cuman jahil.
Di balik kesulitan yang banyak, pasti ada satu atau dua hal yang menyenangkan. Kalau boleh saya bagi, di antaranya adalah saya bisa menyisipkan beberapa pengetahuan umum yang tersamar, dan hanya segelintir orang yang tahu. Hal menyenangkan lainnya adalah, komen-komen tentang tulisan saya. Selain di kolom komentar, ada juga whatsap yg masuk, bukan dari orang dekat, ternyata mereka membaca dan suka dengan tulisan saya.
Honestly, I don't put much expectation from this event. Menang sukur gak menang ya enggak apa-apa. Buat saya, mengetahui orang yang terpantik momen kreatifnya saat membaca karya saya adalah sebuah kemenangan.
Akhir kata, novel ini tidak akan selesai tanpa Gusti Yesus.
Berkah Dalem,
Jo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadirah (TAMAT)
Historical FictionCerita ini berkisah tentang seorang gadis bernama Sadirah, anak seorang warok bernama Wongso Ngadiman. Cinta masa kecilnya kepada Ismangil harus kandas ketika bapaknya menyerahkan dirinya kepada Tuan Murray, seorang lelaki Belanda yang menginginkan...