Janji Tepi Kali - bagian 2

3.8K 283 48
                                    


Kira-kira matahari hampir tenggelam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kira-kira matahari hampir tenggelam. Di hari yang sama, kulihat dua orang di ruang tamu duduk berhadapan. Ruangan itu temaram, tetapi lampu minyak belum dinyalakan. Kebiasaan rumah ini jika lampu menyala saat benar-benar gelap. Aku yakin dua sosok itu adalah bapak dan lurah Mruwak. Mereka berbincang setengah berbisik, sesekali terdengar tepukan untuk mengusir nyamuk yang mengisap tubuh mereka. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Aku hanya bisa menerka di balik kelambu kamar.


Sayup-sayup kudengar lurah Mruwak menyebut namaku dan Ismangil. Hatiku melonjak kegirangan. Apakah benar dugaanku? Apakah Ismangil benar-benar menepati kata-katanya? Kulekatkan telingaku pada kelambu kamar, menguping pembicaraan kedua orang tua itu.


"Aku kemari untuk menanyakan anakmu, atas permintaan Ismangil, Kang." Kata lurah Mruwak. Suaranya begitu tenang dan penuh kesungguhan. "Sadirah akan kujadikan menantu, menjadi istri anakku. Dan sebelum lamaran, sesuai dengan adat Jawa dan yang sudah dilakukan oleh orang tua sebelum kita, aku datang untuk rembukan." 


Bapak tidak menjawab. Kulihat dia memungut kelobot yang sudah padam dari kepitan mulutnya lalu memantik api untuk menyalakannya lagi. Dari bibirnya mengepul asap kelobot. Beberapa kali bapak mengisap dalam dan membuat awan-awan asap di udara.


Hatiku yang semula bergemuruh didera gempa karena kegirangan kini terendam kecemasan. Aku was-was menunggu jawaban bapak, mungkin juga lurah Mruwak merasakan hal yang sama.  Punggung lurah Mruwak yang tadinya disandarkan pada kursi kini ditegakkan, lelaki itu tampak gelisah.


"Aku menghargai niat baikmu, Kang Lurah."


Bapak menggeser duduknya, mendekatkan mulut ke telinga tamunya itu, membisikkan kalimat yang sepertinya tidak menyukakan hati lurah Mruwak. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Firasat tidak enak ketika lurah Mruwak tiba-tiba berdiri dan keluar rumah tanpa pamit. Wajahnya tegang dan rahangnya mengetat. Sesuatu yang buruk pasti sudah terjadi.


"Apa yang Bapak katakan kepada lurah Mruwak?" Aku menghambur keluar begitu bayangan lurah Mruwak sudah tidak terlihat, tak sabar ingin tahu pembicaraan mereka. "Dia ingin melamarku untuk Ismangil?" tanyaku sekali lagi kepada bapak.


Bapak sepertinya tidak kaget dengan kegusaranku. Sekali lagi dia mengisap kelobotnya, kembali membuat ruangan penuh asap.


"Tidak perlu kujelaskan lagi. Kamu tahu apa jawabanku kepadanya."


"Kenapa Bapak menolak? Apa alasannya?"


"Aku punya calon suami yang lebih baik daripada Ismangil," jawab bapak tenang. "Ismangil hanya anak lurah. Kamu tidak akan bahagia dengannya."


"Sejak kapan Bapak bisa menentukan aku bisa bahagia atau tidak? Aku punya tirakatku sendiri, Pak. Hidup, mati, suami, aku yang menentukan. Bahagia atau tidaknya hidupku nanti, aku juga yang menentukan."


"Aku bapakmu! Ingat itu! Aku tahu apa yang bisa membuat keluargaku bahagia."


Berani benar lelaki ini! Dia seolah tahu segalanya, tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh anak perempuannya. Bagaimana mungkin orang yang pekerjaan sehari-hari menyabung ayam dan bercinta dengan gemblak-gemblaknya tahu kepada siapa cinta anaknya tertambat? Bagaimana dia tahu suratan takdir anak perempuannya, sedangkan membaca surat dari wedana saja aku yang membaca untuknya? 


Sadirah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang