Mengapa Wanita Meninggalkan Pernikahan Mereka?

805 4 0
                                    

Pada tahun 2013, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendeklarasikan bahwa jumlah perceraian di Indonesia sudah menjadi jumlah tertinggi di wilayah Asia Pasifik. Menurut Wakil Menteri Agama, Nasarudin Umar, sebanyak 70% dari kasus perceraian di Indonesia diajukan oleh pihak wanita. Tren ini juga salah satu yang diperhatikan di seluruh dunia dan diangkat oleh Michelle Wiener-Davis, penulis Divorce Remedy, yang menciptakan ungkapan 'Walk-Away Spouse Syndrom' untuk mendeskripsikan hal ini. Nona Wiener-Davis, seorang aktivis pernikahan yang penuh antusias, menjelaskan bahwa wanita bisa jadi berhenti mencoba untuk memperbaiki hubungan setelah bertahun-tahun berusaha menembus jiwa suaminya. Dia melanjutkan bahwa ketika wanita-wanita ini meninggalkan pernikahan mereka, ikatan emosional, yang menjadi bagian vital dalam sebuah hubungan bagi wanita, sudah terputus dan bahwa mungkin saja mereka sudah merencanakan untuk menyerah selama berbulan-bulan yang lalu atau bahkan bertahun-tahun. Tidak heran, jika suami yang malang yang baru menyadari bahwa dia akan kehilangan istrinya mengalami syok dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk melakukan apapun demi pernikahannya. Ini seperti kapten kapal yang baru menyadari kapalnya akan tenggelam ketika kakinya mulai terasa basah.

Menurut nona Wiener-Davis, pada awal pernikahan, wanita yang biasanya lebih peka, cenderung menjadi barometer sebuah hubungan. Dia cenderung mengukur dan mengatur koneksi emosional dengan pasangannya. Dia mungkin tanpa sadar bertanya : "apakah kita menghabiskan cukup waktu untuk bersama hari ini?" , "Apakah kita punya obrolan yang bermakna?" , "Apakah kita merasa terhubung?" , "Apakah kita merasa didengar, dicintai, atau dimengerti?" dan jika dia mendapatkan jawaban positif, dia akan menjalani harinya seperti biasa tanpa kekhawatiran. Tapi ketika jawabannya negatif, dia mungkin akan bertanya pada suaminya dengan lembut, seperti : "kenapa kita tidak jalan-jalan lagi?" "Apakah kamu masih mencintaiku?" "Apakah aku masih cantik?" , "Kenapa kita tidak berbicara lagi?" Sedangkan pria yang biasanya berpikir bahwa bekerja keras adalah cara untuk menunjukkan cintanya, akan melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan yang sepele dan tidak penting. Hampir semua pria gagal melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai bentuk permintaan akan perhatian suami terhadap istri. Dan mereka akan merasa bahwa istrinya mengomelinya dan mengkritiknya, sehingga dia mungkin memilih menarik diri secara emosional maupun fisik. Buruknya, hal ini justru membuat istri semakin merasa tidak didengar dan salah paham. Dan dalam kebutuhannya akan keterhubungan, dia mungkin akan meningkatkan level kritiknya agar mendapat reaksi. Pada saat seperti ini keluhannya mungkin akan terdengar seperti : "Kamu gak pernah ngapa-ngapain di rumah?" "Kamu selalu keluar dengan teman-temanmu?" , "Kamu mau nonton bola lagi hari ini?" , "Kenapa sih kamu ga pernah bantu ngurusin anak-anak?" Tentu saja pendekatan baru ini, meskipun hanya sebuah bentuk usaha istri dalam meningkatkan keseimbangan emosional dalam hubungan, tidak akan membuat hubungan dengan suami lebih baik. Di bawah bombardier kritik, dia akan bersembunyi lebih dalam lagi ke dalam goanya dan hanya akan keluar pada jarak aman dari istrinya, yaitu dengan teman-temannya. Mengomeli dan mengkritik biasanya tidak berhasil dalam menciptakan suasana cinta dan mengubah kebiasaan seseorang jarang sekali berhasil dengan cara seperti ini.

Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, wanita akhirnya menyerah dan berhenti peduli tentang hubungannya. Dia akan berhenti mengkritik dan tampak lebih patuh di mata suaminya. Itu karena saat ini dia sedang bertanya-tanya apakah dia sudah menikahi orang yang benar. Dia mungkin mulai merenungkan bagaimana jadinya jika ia hidup dengan orang lain saja atau hidup sendiri saja. Tentu saja, lingkungan sosial, faktor agama dan tekanan dari keluarga meyakinkan dia bahwa dia masih memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, dan tentunya dia masih terlihat sebagai seorang istri yang berbakti. Bahkan suaminya mungkin berfikir bahwa akhir dari omelan dan kritik yang terus-menerus adalah sebuah tanda bahwa segala sesuatunya telah membaik tapi jauh di dalamnya dia berhenti untuk peduli dan mungkin merencanakan untuk pergi. Rencana ini mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa terwujud dan mungkin juga bergantung pada beberapa faktor, seperti anak-anak yang sedang bertumbuh dan meninggalkan rumah, atau istri yang sedang mencari pria lain yang bisa memberinya perhatian yang selama ini dia butuhkan. Bisa juga bergantung kondisi finansialnya dan kemampuannya dalam bertahan sendirian. Tapi apapun itu, jika saatnya tiba dan dia mengatakan pada suaminya : "Aku ingin cerai!", suami akan syok karena dia tidak tahu betapa tidak bahagianya istrinya selama ini.

Ironisnya, seringkali ketika wanita memintacerai, suami akhirnya memahami situasinya dan siap untuk bekerja keras dansepenuh hati demi hubungannya, tapi istrinya yang sudah bertahun-tahun tidakterhubung dan mengumpulkan keberanian untuk meninggalkan rumah tangganya, berpikirbahwa "semuanya sudah terlambat!" 

Habis Nikah, Ngapain? - Suka Duka Dalam PernikahanWhere stories live. Discover now