Di musim hujan seperti ini, lebih enak jika menghabiskan waktu bergelung dalam selimut dan tidur sepanjang hari. Atau sebagian orang akan memilih membaca buku ditemani secangkir minuman hangat dan kue-kue kering, diiringi retihan kayu bakar perapian dan ayunan kursi goyang. Bagi mereka, yang seperti itu adalah surga dunia.
Begitu pula Hendrico. Ia adalah salah satu manusia yang memilih opsi kedua. Kakek 67 tahun ini asyik menyesapi kopi hitamnya. Sofa coklat empuk berbahan kulit menjadi tempat dia bersantai. Perapian batu menebarkan aroma kayu terbakar yang menghangatkan ruangan. Sungguh suasana yang sangat menenangkan. Bedanya, di tangannya bukanlah novel yang terbuka, melainkan berlembar-lembar laporan bisnis.
Di usia yang hampir menginjak kepala tujuh, Iko masih bugar dan aktif menjalankan bisnisnya. Dengan berbalut setelan rapi, beliau tampak lebih muda seperempat abad dari usia sebenarnya. Badan tegap. Bahu kokoh. Berdada bidang seperti papan setrika dan sepasang mata menyorot tajam yang selalu mengintimidasi setiap lawan bicaranya. Namun tetap berkesan ramah dan bijaksana.
Keriput samar memahat dahi dan sudut matanya, bukti dari kerasnya perjalanan hidup Hendrico. Terlahir sebagai yatim-piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Menempa sosoknya menjadi pribadi yang mandiri, pantang menyerah dan ulet dalam bekerja. Beliau sukses mengelola setiap usaha yang ditekuninya.
"Hmm... pemasukannya stabil. Tidak ada masalah. Sepertinya meski ada saingan baru bisnisku aman," gumamnya sembari membaca laporan salah satu bisnis gym miliknya.
Iko, begitulah panggilan Hendrico, merupakan salah satu pebisnis tersukses di Indonesia. Ia memiliki banyak lahan perkebunan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia Barat. Teh, kelapa sawit, karet, semuanya ia miliki. Tidak hanya itu, ia juga memiliki bisnis gym yang terkenal di kalangan orang-orang kelas atas.
"Kalau semua lancar begini maka aku tinggal bersantai saja." Dia merebahkan kepalanya ke sandaran sofa. Mata tuanya terpejam, mencoba merilekskan diri. Di usianya yang sudah senja, keinginannya hanyalah bersantai di rumah. Tidak perlu repot-repot mengurusi bisnis ini-itu. Biarlah semuanya diurus cucu-cucunya. Dia tinggal menikmati hasil jerih payahnya bertahun-tahun lalu.
Tetesan air hujan mulai terdengar di luar jendela. Udara menjadi semakin dingin, berperang dengan hangatnya api perapian. Iko merasakan tubuhnya perlahan semakin berat, seiring kesadarannya semakin menipis. Kantuk benar-benar telah menyerangnya. Dia menggeliat sedikit, mencari posisi yang lebih nyaman sebelum mulai terlelap.
Hampir.
"KAKEK!"
"Astaga!" Iko tersentak kaget. "Astaga astaga astaga...." dia mengelus-elus dadanya. Hampir saja dia terkena serangan jantung akibat suara kencang menggelegar itu. "Ana," panggilnya kesal. Cucunya itu ingin membuatnya cepat mati ya!
"Hehehehe...." Andreana, si pelaku teriakan, hanya bisa terkekeh salah tingkah. Dia tidak bermaksud mengagetkan kakeknya. Mana dia tahu kalau Iko sedang tidur?
"Jangan teriak-teriak seperti itu! Kalau kakek kena serangan jantung gimana?"
"Maaf kek! Tidak sengaja. Lagipula kakek kan sehat! Bugar gini, mana mungkin kena serangan jantung!" Andreana memeluk Iko sangat erat. Iko meringis mendengar ada tulangnya yang berderak. Andreana kalau memeluk orang tidak kira-kira kuatnya!
"Tetap saja. Kakek ini sudah tua. Kalau dikageti lama-lama kena juga toh."
"Tapi kakek kan masih sehat! Masih suka olahraga setiap hari, makan sayur setiap hari, minum susu, beres-beres rumah, nonton komedi, bahkan lari karena dikejar anjing saja kakek kuat! Pasti jantung kakek juga sehat!" bantah Andreana.
Ingin sekali Iko menepuk dahinya mendengar ucapan Andreana. Wanita itu memang keras kepala. Apa yang dia pikirkan itulah yang dia yakini.
"Kau seharusnya tidak membantah kakek terus. Dasar tidak sopan." Suara berat menyela pembicaraan mereka berdua. Seorang laki-laki berusia pertengahan 20-an memasuki ruangan. Dialah Andre, cucu kedua Iko sekaligus adik kembar Andreana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepincut Uke Tua
Romance"Cinta adalah cinta. Sama sepertimu, kau adalah dirimu. Kau bisa menjadi sosok masa lalu, bisa pula menjadi orang yang baru. Tapi tetap, hanya ada satu kenyataan." _________________ ✍ Dunia yang dia miliki selalu terasa hambar. 45 tahun dia habiska...