Chapter 4

3.3K 404 153
                                    

Thalita berjalan ke ruangannya. Sepatu hak tinggi yang dia pakai mengentak keras di koridor, membuat keributan tersendiri dengan irama senada.

Dia sangat kesal, sebagai seorang guru BK, tentu saja dia tidak akan tinggal diam kalau ada kegiatan memalukan di sekolah dimana dia mengajar.

Pasangan sejenis ... huh, menjijikan. Mana bisa dia menerima kegiatan semacam itu.
Dia tahu kalau ada beberapa muridnya yang terlibat dalam kegiatan LGBT tapi dia tidak memiliki bukti apapun untuk mengatakan kalalu memang ada hal semenjijikan itu disekolah ini. Dan jika sudah seperti ini dia tidak lagi bisa tinggal diam.

Kekhawatirannya hanya satu. Dia menyayangi anak didiknya, muridnya yang sudah seperti anak-anaknya sendiri. Bagaimana dengan masa depan mereka jika mereka seperti itu? Bagaimana jika suatu hari mereka menemukan seseorang yang cocok untuk mereka tapi pasangan itu bukanlah lawan jenis seperti kebanyakan orang? Lagipula ... kalau kegiatan ini tetap ada di sini dan tidak ditindaklanjuti, maka nama sekolah ini jalan yang akan jadi taruhannya.

Atas alasan itulah, Lita ingin agar seluruh kegiatan LGBT dihapuskan di sekolah ini. Dan semua siswa yang sudah terlanjur terlibat akan dia kembalikan orientasi menyimpang mereka menjadi normal lagi demi mendapatkan pasangan normal.
Bukan pasangan sejenis yang rasanya menjijikan.

Membenarkan letak kacamatanya, Lita mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia ingat salah satu temannya sudah menjadi seorang psikolog ternama.

Mungkin saja dia bisa membantunya menangani masalah ini dan memberikan pengarahan untuk isi kepala anak didiknya yang menyimpang seperti orientasi seksual mereka.
Bukankah penyimpangan orientasi juga bisa disebut sebagai gangguan mental?

* * *

Bel pelajaran sudah berbunyi sejak tadi, tapi Bu Lita masih sibuk berkutat dengan pikirannya – mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kegiatan LGBT di sekolah ini, terutama tentang mereka yang sudah menjadi seorang gay.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Lita sampai tidak sadar kalau kepala sekolah sudah berdiri disampingnya – memperhatikan dia yang terus berdiri sambil mengetik beberapa pesan singkat untuk temannya tadi.

“Bu Thalita?” panggil kepala sekolah pelan, tapi tak ada respon dari guru wanita berkacamata tersebut. Dua panggilan yang sama pun masih tidak terdengar, hingga membuat kepala sekolah bernama Rasya itu berdeham cukup keras untuk menyadarkan Lita kalau bukan hanya ada dia di ruangan tersebut.

Terlonjak kaget, Lita langsung menaruh ponselnya gugup di atas meja. Menatap kepala sekolah bingung sambil bertanya bagaimana bisa orang itu ada di ruangannya.

“Melamunkan apa, sih?” Tanya kepala sekolah sambil melirik sedikit ponsel Bu Lita yang masih menyala memperlihatkan kolom percakapan yang tidak dapat dia baca.

“Tidak, bukan apa-apa... bapak kenapa sih? Bikin kaget aja.”

“Tugas yang saya minta... sudah Bu Lita kerjakan?”

Bu Lita menepuk dahinya lalu menggeleng pelan. Dia tidak bisa berkata apapun lagi. Dia benar-benar melupakan pekerjaan yang seharusnya dia selesaikan dan diserahkan hari ini ke ruangan kepala sekolah, tapi....

Dia terlalu sibuk memikirkan masalah LGBT ini, sampai membuatnya lupa dengan berkas dan kegiatan mengajarnya.

“Bu Lita itu ngapain aja sih dari tadi?” ujar kepala sekolah kecewa “berkas itu penting loh, Bu. Kenapa bisa sampai lupa?” marahnya.

Tak ada yang bisa dikatakan Lita, dia memang bersalah dengan melalaikan tugas pentingnya sebagai pengajar disekolah ini.
Wajar kalau Kepala sekolah memarahiya.

Kepincut Uke TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang