Chapter 3

3.6K 407 79
                                    

Sudah seminggu Iko menjalani hidup barunya sebagai anak SMA setelah berpuluh-puluh tahun tidak lagi menginjakkan kaki di tempat yang disebut sekolah. Setelah peristiwa di resto beberapa waktu lalu, yang akhirnya mengubah sosoknya dari seorang kakek 67 tahun menjadi sesosok anak SMA lagi. Suatu kejadian yang memang di luar nalar manusia, tapi kenyataannya itulah yang terjadi.

Ia kembali muda.

Setelah mengamati kembali penampilannya di cermin–ia masih belum terbiasa dengan tubuh mudanya, Iko turun ke bawah dan mendapati Nea sudah menunggunya, duduk di kursi menghadap menu sarapan berupa nasi goreng dalam satu wadah besar, tiga telur mata sapi favorit Iko dan tiga buah piring tertelungkup di atas meja. Iko mengambil kursi yang tepat berada di sebelah Nea.

“Pagi, Pak Iko,” sapa Nea, mengambil piring Iko dan mengisinya dengan nasi goreng, telur ceplok dan irisan tomat serta daun selada yang sukses membuat Iko meneguk ludahnya sendiri.

"Pagi, Nea." Ia menyahut sapaan Nea. Matanya tak henti menatap gerakan Nea mengisi piringnya. Aroma nasi goreng itu begitu menggoda untuk perut Iko yang sudah melantunkan orkestra keroncong bernada kukuruyuk. Nea terkekeh geli menyaksikan ekspresi lapar Iko yang menggemaskan, meletakkan seporsi nasi goreng itu di hadapan Iko dan kembali sibuk mengisi piring selanjutnya.

“Gimana sekolahnya, Pak? Lancar?” Monic yang tiba-tiba datang langsung bertanya pada Iko. Laki-laki manis yang sedang asik menikmati sarapannya itu tersedak sampai mengeluarkan nasi dari hidungnya.

Monic langsung memberikan segelas susu kepada Iko yang langsung diteguknya sampai habis.

Nea mengangguk-angguk antusias mendengar pertanyaan Monic, ia jadi ingin tahu dengan apa yang terjadi di hari pertama Iko di SMA, mengabaikan kondisi Iko yang begitu memprihatinkan sehabis tersedak dengan begitu hebat.

Nasinya masih sisa separuh, tapi Iko sudah tidak napsu lagi. Semua itu karena pertanyaan Monic barusan. Remaja ganteng berusia lansia itu menatap wajah Monic sementara otaknya memutar kembali insiden saat dirinya jatuh hingga tak sengaja mencium bagian terlarang pemuda itu.

Belum lagi gangguan-gangguan lain yang dilancarkan Danni di toilet maupun di kantin. Iko menggeleng kencang. Ia bingung sendiri, kenapa cuma hal-hal yang berkaitan dengan Danni saja yang bisa dia ingat jelas. Padahal, masih banyak hal lain yang bisa diceritakannya pada dua wanita di hadapannya.

Iko tersenyum canggung, berusaha menetralisir kebingungan yang jelas terlihat di wajah Nea maupun Monic atas aksi geleng-geleng barusan.

“Sekolahnya menyenangkan. Saya dapat teman baru, Azvaro namanya.” hanya dua kalimat itu sajalah perwujudan dari ‘banyak hal' yang bisa ia ceritakan.

Iko tahu jawabannya tidak memuaskan rasa ingin tahu kedua wanita itu, tapi tak mungkin dia menceritakan tentang Danni dan insiden itu. Mau ditaruh di mana mukanya nanti?

Setelah menyelesaikan sarapan paginya, dengan memaksakan diri meghabiskan nasi di piringnya —pengalaman menjadi salah seorang penghuni panti asuhan membuatnya tak mau menyiskan makanan yang pada masa itu dibagi sedikit sekali pada tiap anak—Iko berangkat ke sekolah menggunakan bus. Menolak dengan halus tawaran Monic untuk mengantarnya dengan dalih ia ingin mandiri dan sudah hapal jalan. Padahal, alasan sebenarnya adalah karena Iko masih teringat dengan ledekan Danni kemarin, yang mengatainya sebagai simpanan tante-tante. Walaupun hal itu tidak benar adanya, tetap saja membuatnya risih.

Jam baru menunjukkan pukul 06.30 pagi ketika Iko sampai di sekolahnya. Ia datang kepagian, belum banyak siswa yang hadir di sekolah pagi ini. Dengan santai, Iko melintasi koridor demi koridor untuk mencapai kelasnya yang terletak di bagian belakang gedung utama sekolah.

Kepincut Uke TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang