Diary 9 - Tak Terduga

50 8 4
                                    

Semuanya berjalan seperti biasa. Dan aku, sama halnya seperti sebelumnya, mengagumi Tirta diam-diam.

Aku tidak merasa keberatan, walau sebagian besar hatiku ingin sekali memulai percakapan dengannya. Tapi yang menjadi pertimbanganku adalah bagaimana cara memulai semua itu? Sedangkan aku selalu menutup diri dengan orang lain.

Nanda nampak kesal denganku. Dia yakin sekali jika aku menyukai Tirta. Tapi, aku selalu mengelak, dan malah menuduh dia menyukai Tirta. Padahal, jika di pikir-pikir, kalau aku ada diposisi Nanda, pasti sudah sangat ingin melotot sebal ke arahku yang selalu mengatakan hal yang sama.

Aku memang sudah jujur dengan ketiga temanku, tapi belum jujur kepada Nanda dan Evi. Aku merasa begitu kesulitan mengucapkan itu, sedangkan mereka sangat dekat sekali denganku. Walaupun, dari logat bicara dan gerakan tubuhku yang selalu saja berusaha tidak mengakui bahwa aku menyukai Tirta, tetap saja rasanya begitu berat. Aku membohongi diri sendiri, Nanda dan Evi, padahal mereka sangat berarti bagiku.

Mereka selalu ada untukku, selalu bersamaku. Mereka tidak akan terima jika ada yang menyakitiku. Entah dalam bentuk apapun. Intinya, aku menyanyangi mereka. Setelah semua yang telah kami lewati bersama.

Sungguh. Ini terlalu sulit. Hanya perlu mengatakan kebenaran kepada Nanda dan Evi. Saat aku ingin mengatakannya, ucapan ku selalu tertahan di ujung lidah. Dan setelah semuanya berlalu, aku baru menyesali. Sudahlah, aku akan berusaha jujur kepada mereka, jika hati kecilku mengizinkan kalimat itu terlontar begitu saja.

Aku menyukai Tirta.

Evi memakan makannya di sampingku. Entah ada apa, tiba-tiba dia ingin makan bersamaku, padahal sebelum-sebelumnya dia selalu di dalam kelas bersama Wisna.

Aku menatap dia yang begitu santai menyantap makannya. Tidak ada beban yang dia rasa. Sedangkan aku? Selalu perang dengan pikiranku, dengan semua gejolak dalam diri.

Nanda tidak bersamaku. Aku yakin sekali, dia pasti bersama Tirta. Aku jadi merasa sangat bersalah padanya.

Aku memejamkan mata sejenak, sebaiknya memang saatnya aku jujur pada mereka.

"Vi," panggilku sambil menoleh Evi.

Evi membalas tatapanku, "Apa?"

"Ehm ... Gue mau ngomong sesuatu sama lo,"

"Apa?" tanya Evi menghentikan gerakan tangannya.

"Gue ... Gue ... Suka sama Tirta, Vi," ucapku mengalihkan tatapanku.

Tidak ada sahutan yang aku dengar dari mulut Evi.

Aku menoleh menatap Evi, dia memutar bola matanya dalam diam.

"Gue udah tau, sebelum lo cerita,"

Aku membelalakkan kedua mataku kaget. Tentu saja, aku tidak pernah cerita, mengapa mereka tau? Aku kode boongnya keras ya? Sampai-sampai aku denger sahutan Evi kaget begini.

"Gue udah tebak dari awal. Gue udah pernah bilang, berapa banyak lo berbohong tentang perasaan lo, tetap aja gue sama Nanda tau. Cuma, kalo Nanda, dia kelewat baik, di boongin juga percaya tuh orang,"

"Gagal deh," gumamku. "padahal gue pengen reaksi lo kaget, eh malah gue yang kaget beneran."

Evi menghela napas. "Kalo mau boong tentang perasaan, lo gak cocok sama gue. Gue tau gerak gerik lo  bohong. Kayak ada lebih-lebihnya."

"Lo peramal?" sahutku polos. Ya siapa tau kan, Evi-si anak kelas-bisa meramal.

"Bukanlah. Sembarangan." balas Evi sambil menoyor kepalaku seperti biasa. "Lagian kenapa pake bohong segala coba?"

"Ya nggak apa-apa sih. Gue butuh waktu buat nyeritain semuanya. Sebenarnya dari waktu ini gue mau cerita sama lo berdua, cuma menurut gue, jujur tentang perasaan gue sama orang lain itu sulit banget."

"Heu!" Evi menggeleng tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Ya, memang itu kenyataan nya, mau gimana lagi? "Tinggal jujur aja sih, 'gue suka sama Tirta' cuma ngomong empat kata doang lo bilang susah. Gak percaya gue."

Aku memutar bola mata malas. "Terserah lo deh, Vi. Capek gue ladenin lo mulu dari tadi."

Melihat reaksiku yang jengkel dengan kata-katanya, Evi malah menyengir lebar. Aneh. "Hehe, bercanda Ris!"

"Iya. iya."

"Btw, lo cuma mau mau bilang gini doang?"

"Iya." sahutku. "Terus lo minta gue ngomong apa lagi?"

"Ya ... Kagak ada sih. Traktir kek, atau bilang sesuatu gitu."

"Gak minat." jawabku malas.

Evi tertawa renyah. "Hahaha, bercanda kok. Gue tau kantong lo bolong. Mana mungkin bisa nraktir gue kan?"

Aku menggerem kesal, lalu mencubit pipinya yang kelihatan imut-imut. "Lo kok tai ya?"

"Hehehe," Evi mengusap pipinya sembari menyengir lebar, "Maaf-maaf. Gue bercanda kali."

"Oke." Aku mengangguk samar.

Tanpa aku sedari, seseorang dari jauh terlihat menatapku penuh arti. Sejenak aku tertegun. Dia kembali menatapku kini dengan senyum lima jarinya.

Dia, Tirta. 

***

Aku inget banget momen itu. Pas waktu itu emang paling ga pernah aku lupain. Bahkan sampe sekarang. Terlalu banyak hal lucu yang aku alami selama ini, sampai ngelupain dia yang udah jadi kenangan aja susahnya minta ampun. Wkwkwk

Oke, See u!


A Diary About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang