Chapter 5

4K 363 329
                                        

Meletakkan tas kerja secara asal pada permukaan meja. Setelahnya, lelaki tinggi penerus Kongthanin Corp tersebut mendudukkan bokongnya dengan kasar diatas kursi.

Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.05 AM. Masih terlalu pagi untuk Phana menginjakkan kaki dikawasan kantor Kongthanin. Dan hal itu sengaja ia lakukan untuk menghindari Ibunya. Bahkan ia melewatkan sarapan paginya begitu saja.

Phana hanya merasa tidak siap bertemu dengan sang Ibu sejak insiden Phawta memaksanya agar mempertemukan dengan Wayo. Malam ini. Ia senang sekaligus lega jika Ibunya dengan sukarela menerima keberadaan lelaki mungil itu. Hanya saja, ia takut jika Wayo merasa terbebani lantaran semuanya terkesan terburu-buru. Mereka baru saling mengenal, akan tetapi mereka sudah harus menjalin hubungan yang lebih serius tanpa mengetahui perasaan masing-masing. Yang pasti, Phana sangat yakin bahwa hanya dirinya lah yang berharap lebih disini.

Menjambak rambut frustasi. Dan kelakuan 'tak biasa'nya itu sontak terhenti saat smartphonenya yang berada dalam saku celana bergetar ringan. Dengan cekatan meraih ponsel tersebut dan terdiam saat nama sang penelpon terpampang jelas dipandangan. Mae's Calling.

Phana meringis dalam hati. Sepertinya percuma ia menghindari Ibunya pagi tadi, yang pada akhirnya pun sang Ibu akan menelponnya seperti saat ini. Sekarang ia sepenuhnya percaya bahwa perasaan seorang Ibu memanglah peka.

Meskipun merasa enggan, jemarinya tetap bergerak menggeser ikon hijau lalu mendekatkan pada telinga. "Halo—"

"Mae tahu kenapa kamu pergi lebih awal dari biasanya.. Dan, Mae menelpon untuk mengingatkan agar Pha tidak lupa membawa anak itu ke rumah. Malam ini. Tidak ada restu dari Mae jika kamu tidak membawanya! Oke Mae tutup kha..."

PIP!

Phana menjauhkan benda pipih itu dari telinga hanya untuk memandang layarnya dengan ekspresi ngeri. Apa yang baru saja berbicara benar-benar Ibunya? Sial, mengapa Ibunya mendadak bisa melakukan rapp dengan satu tarikan nafas?

Sebegitu semangatnyakah Ibunya ingin bertemu Wayo?

Beberapa menit Phana terdiam dan bertahan pada posisi itu. Merasa sedikit heran akan sikap sang Ibu. Namun tiba-tiba ia  tersentak ketika teringat perkataan Phawta.

Oke, sekarang apa yang harus ia katakan pada pemuda mungil berwajah manis atas permintaan—paksaan—Ibu tercintanya? Menggigit lidah sekilas, sesaat kemudian jari panjang Phana mulai berselancar pada permukaan ponsel pintarnya. Mencari kontak Wayo.

Mengikuti kata hati, menekan ikon calling setelah menemukan kontak yang dicari lalu kembali mendekatkan benda canggih tersebut pada telinga. Jantungnya yang mulai berdegup tak beraturan beradu dengan nada panggilan terhubung.

Kinerja jantung Phana semakin tak terkendali saat nada sambung itu tidak lagi terdengar. Yang berarti Wayo telah mengangkat telepon darinya.

"Halo..." berujar setelah menarik nafas panjang. Ia sadar, suaranya barusan bahkan sama sekali tidak bisa menutupi kegugupan didalamnya. Ia hanya mampu berharap Wayo tidak menyadarinya.

"Ada apa, P'?" suara Wayo dari seberang sana terdengar. Hanya dengan mendengar suaranya yang lembut sudah mampu menyalurkan rasa hangat dihati Phana.

"Bagaimana kabar Yo?" Phana bungkam beberapa saat. Mencoba menyusun kata untuk sedikit berbasa-basi. "Sudah sarapan pagi?" lanjutnya. Ia tahu dirinya kini sudah seperti orang bodoh. Pertanyaan yang terlontar dari belah bibirnya memang terdengar konyol, akan tetapi pertanyaan itu seakan meluncur begitu saja. Dengan kata lain—ia memang ingin memberikan perhatian lebih pada sosok yang mulai merangkak memasuki hatinya.

"A-aku baik..dan.. sudah sarapan." Wayo menyahut tersendat. Yang sayangnya Phana justru mengasumsikan hal itu karena lelaki mungil tersebut merasa risih atas perhatian kecil darinya. "Bagaimana dengan P'?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mail Order BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang