Cinta tapi beda/ Sahabat terbaik

38 1 0
                                    

Aku sama Nika lagi duduk di dapur menikmati hasil masakan kita sendiri. Obrolan kita masuk kedalam persoalan cinta, pacaran dan jodoh. Biasa obrolan sahabat cewe umumnya. Yang asik kalau ngobrol sama Nika dia pikirannya ga seperti orang-orang lain yang aku kenal.

Walaupun aku muslim dan dia beragama kristen pendapat kita soal banyak hal sangat nyambung. Seperti soal pacaran: percuma main-main kalau ga ada niat serius. Pacaran dan punya pasangan suka terlalu di pentingkan. Padahal masih banyak hal lain dalam hidup yang penting. Seperti menemukan diri sendiri. Seperti membahagiakan orang-orang dalam hidup kita. Seperti meraih cita-cita dan mewujudkan impian kita. Namun kalau impian kita adalah menemukan cinta sejati? Salah fokus.

Nika sendiri pernah pacaran tapi saat pacaran pun dia tidak seperti orang lain yang rasanya harus bareng terus, apa-apa harus saling kabarin, sering galau, mikirin doi mulu.

„Aku pas pacaran pun ga pernah ngerasa gimana-gimana sama si doi. Kalau ketemu ya biasa aja. Kalau ga ketemu, ya juga biasa aja" cerita Nika.

"Jadi ga ada rasa kangen gitu, rasa senang kalau ada dia? Kaya teman biasa aja gitu?" Aku penesaraan karena pertama kali aku mendengar ada orang yang sepertinya nyantai banget soal pacarnya.

„Hmm lebih dari teman sih tapi... ga terlalu beda. Aku pernah pikir apa aku aneh karena ga pernah mengalamin rasa sukaaa banget sama seseorang, kaya selalu mikirin dan pengen bersamanya terus."

„Kamu ga aneh ko. Kali orang lain yang aneh. Aku dulu juga, kalau teman-teman cerita jatuh cinta dan gimana-gimana, ini orang kenapa sih? Asa lebay."

„Yah mungkin kita belum nemu aja seseorang special yang membuat kita merasa seperti itu."

"Hmmm... iya dulusih. Tapi kalau jujur..." aku terdiam mikirin kata-kata yang aku mau ucapin.

Nika hanya menatapku tanpa bertanya soal kelanjutan kalimatku. Dia membiarkan aku ruang untuk memikir, untuk menemu kata-kata yang tepat, tidak membuat aku merasa bahwa aku harus cerita kepada dia. Seandainya aku tiba-tiba memilih untuk tidak melanjutkan kalimatku tadi dia juga ga akan keberatan dan ga akan nyuruh-nyuruh untuk meneruskannya.

„Kalau jujur aku lagi mengalami apa yang mereka dulu cerita. Yang dulu aku ga bisa mengerti. Karena...gimana ya... bisa dibilang ada seseorang yang buat aku ngerasa seperti itu, kangen, pengen dekat sama dia, susah untuk tidak mikirin dia...."

„Yah mungkin itu dia."

„Dia?"

„Iya, dia. Dia yang ditakdirkan untuk kamu." Lalu Nika ketawa.

Aku menelan dan berusaha untuk senyum tipis.

„Sayang sepertinya kita tidak di takdirkan untuk bersama." Jujur aku masih suka ngerasa sakit ngomong soal ini, soal dia.

„Lah ko gitu? Orangnya tinggal di Indonesia?"

Aku hanya mengangguk.

Nika tau bahwa orang tua aku ingin aku menikah sama seseorang yang tinggal disini, di Inggris. Kalau bisa di London atau setidaknya ga jauh dari kota dimana mereka tinggal.

„Jodoh ga kemana" berkata Nika „pasti nanti juga ketemu lagi. Tuhan punya cara tersendiri untuk pertemukan dua orang yang memang ia takdirkan untuk menjalani hidup bersama."

„Iya" hanya itu yang bisa aku jawab. Seandainya Nika tau seluruh cerita, dia tau mengapa aku berpikir bahwa tidak ada masa depan bersamanya. Mengapa aku berpikir dia bukan jodohku. Mengapa aku rasa ini jalan Tuhan untuk memisahkan kita. Walaupun hatiku masih untuknya. Sejak dulu dan sampai sekarang.

Aku suka curhat ke Nika, soal apapun, termasuk soal aku sering kemana-mana sendiri, soal aku sering ngerasa kesepian.

„Makanya punya pacar biar ada yang nemenin" yang selalu menjadi jawabannya. Padahal dia udah tau aku sama sekali ga mau punya pacar. Mungkin kalau dibilang „sama sekali" ga benar juga. Kalau jujur, aku mau-mau aja. Siapa sih yang ga mau ada seseorang yang perhatiin, yang nemenin, yang peduli. Tapi maunya secara halal.

„Ya udah cari yang mau halalin kamu" berbunyi balesan sahabat cerewet itu.

If it would be that easy....

Dan kemarin aku ceritain bahwa teman setia hanyalah sepedaku yang temenin kemana-mana. Sepedaku yang hilang sehari yang lalu. Sebab itu aku harus pulang jalan kaki yang membutuhkan hampir satu jam, di tengah malam.

„Pacar ga punya, sepeda hilang, ga ada yang nemenin, ga ada yang jemput, kasian hidup jomblo" terdengar ejekan Nika.

„Yah gitulah. Kan masih ada Allah yang menjaga."

„Dan ada aku jugaaa."

„Kan kamu juga Allah yang kirimin. Sebagai obat luka hatiku."

„Waduh, mulai gombal nih."

„Gapapalah, sekali-kali. Kan ga ada orang lain untuk di gombalin."

Lalu Nika memeluk aku, „makasih ya udah jadi teman aku."

„Aku yang makasih Nika."

Berkat kamu aku bisa move on, sedikit demi sedikit. Bahkan hanya tidak memikirkan dia untuk sementara sangat membantu. Hanya mengetauhi bahwa aku bisa bahagia tanpa ada dia. Dan begitulah aku menyadari bahwa bahagia bukan bergantung pada satu orang. Seandainya dia pergi, masih banyak orang yang bisa buat kamu bahagia dan yang bisa kamu bahagiakan. Memberi kebahagiaan kepada orang lain, menjadi salah satu cara untuk menemu kebahagiaan tersendiri.

Jika nanti aku ketemu sama seorang lelaki yang menyentuh hatiku ku ingin dia itu seperti Nika – Nika versi cowo, versi muslim dan versi ganteng.

🌸🌸🌸




Makasih untuk sang "Nika" yang selalu menjadi teman asik untuk diajak ngobrol. Makasih selalu dengarin aku. Makasih untuk berbagi pengalaman dan pendapatan kamu. Makasih memberi aku inspirasi untuk nulis cerita pendek ini, hanya sebuah cuplikan dari kebersamaan kita.
Semoga bakal banyak cerita yang nyusul. ❤

Colours of LoveWhere stories live. Discover now