EMPAT

25.6K 4.1K 201
                                    

Kakiku tidak bisa berhenti mondar mandir di depan ruang UGD. Seorang perawat menghampiriku, bertanya tentang wali pasien yang namanya saja tidak aku tahu.

Sedangkan pria itu, sudah terlelap sepertinya.

Aku mengingat inisial di saputangan yang sudah berlumuran darah sekarang. Kutulis saja namanya KTT. Usia, 32. Itu perkiraanku saja. Sementara untuk mendapatkan perawatan intensif, aku harus membayar uang muka agar dia bisa segera dipindahkan ke dalam kamar.

Tanganku bergetar saat membuka dompet. Ongkos taksi saja sudah menarik dua lembar pecahan seratus ribu yang kusayang - sayang. Jadwal check up ibu minggu depan. Memang untuk biaya check up ditanggung asuransi pemerintah, tapi tidak dengan obat - obatnya. Dan itu tidak murah.

Seketika kepalaku berdenyut nyeri. Pusing.

"Mbak, silakan ikut saya ke administrasi. Biar pasien bisa segera dipindahkan." Aku menelan ludah dengan sulit, dan sekali lagi meyakinkan diriku bahwa ini bentuk kepedulian antar sesama manusia.

Tuhan pasti balas, Tuhan pasti balas. Bisikku dalam hati.

Setelah mendapatkan kamar dan dipindahkan, aku berencana memeriksa saku celana pria itu. Tapi ragu. Kalau dia bangun dan mendapatiku meraba - raba celananya, apa yang akan dia pikirkan?

Lelah membuat tubuhku lemas, kutarik kursi besi yang disediakan untuk wali pasien dan menumpu kepalaku dengan tangan di sisi lengan kanannya.

Pikirkan lagi besok, Tis. Hari ini cukup berpikirnya.

***

Tanganku kebas, leherku pegal dan rasa - rasanya suara disekitarku mulai agak ramai.

Aku membuka mata dan mengangkat kepala. Seorang perawat sedang memeriksa tekanan darah pasien di samping pria yang semalam kubawa kesini.

"Terima kasih." Aku baru menyadari kalau pria itu sudah bangun dan sedang tersenyum ke arahku.

Manis.

"Hm. Sama - sama." Aku membersihkan tenggorokan dan merapikan tampilanku. "Maaf saya hanya bisa membawa kamu ke ruangan kelas tiga."

Karena dari setelan yang dikenakannya, aku tahu, dia biasa mendapatkan perawatan VIP, ekslusif dan nomor satu.

"Saya sudah request untuk pindah ke ruang VIP kok." See?

"Ng -- tapi, saya cuma mampu DP-in kamar disini."

"Saya yang bayar kok. Ohya, semalam berapa uang kamu yang terpakai? Dompet saya ketinggalan. Ponsel juga. Saya akan ganti."

Apakah etis langsung meminta gantinya sedangkan dia belum bisa bernapas dengan benar?

"Sehat dulu aja." Jawabku akhirnya.

"Tolong, kalau ada yang bertanya, jelaskan bahwa ini insiden perampokan."

Aku menatapnya beberapa saat, meski aku tahu persis bahwa ini bukanlah perampokan. Aku mengangguk.

"Bisa pinjam ponsel? Saya ingin kasih kabar ke kantor."

Aah, kantor!

Aku merogoh ponsel dari kantong dan lupa, batereku habis dari semalam. Itu alasannya aku berjalan melewati tanah kosong dan akhirnya menemukan dia.

"Mati. Saya lupa charge dari kemarin."

"Bisa di-charge dulu, itu ada stop kontak." Dia menunjuk tembok di sisi kanannya, aku segera mengeluarkan kabel dan mengisi daya ponselku. "Saya belum tahu nama kamu, bagaimanapun juga, saya berhutang nyawa."

Aku mengibaskan tangan, malu karena sempat berpikir untuk meninggalkannya semalam.

"Tities. Nama kamu?"

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang