Chapter 4

40 8 5
                                    

Mereka, Sesuatu yang Tak Bisa Dijelaskan

Zona Karantina mulai ramai dengan kebisingan senjata, peganganku semakin erat pada anak dan istriku.

Aku memejamkan mata, berharap semua ini cepat berakhir. Tapi aku tak bisa berharap apa-apa selain berdo'a kepada yang maha Esa. Aku merasa ada yang menyentuh kakiku. Kurasa, itu seperti terinjak. Kulihat sekilas, tak nampak sedikitpun karena gelapnya malam tanpa lampu. Tapi kilat akhirnya memberiku penglihatan, yang ternyata itu anak Wandira, dan anakku Abie, sedang membicarakan sesuatu. Aku sebenarnya tak menghiraukan mereka. Rasa takut membuat diriku tak ingin bertanya apapun.

Setelah lama berdiri tiga puluh menit, mereka semua menyatakan bahwa situasi sudah aman, dan terkendali. Lalu, lampu dinyalakan kembali, aku tak melihat ada mayat mahluk itu. Tapi beberapa orang terluka, seperti beberapa militer, dan beberapa warga sipil. Tentunya lebih banyak warga sipil yang terluka.

Aku masih bingung dengan apa yang menyerang kami. Tapi di balik itu, aku senang keluargaku baik-baik saja. Dan tentu juga Wandira dengan putrinya.

Keesokan paginya, kali ini aku terbangun oleh suara tawa anakku yang bermain dengan putrinya Wandira. Kulihat jam, ternyata jam sembilan pagi. Aku benar-benar kesiangan, apakah istriku tak masak hari ini?

Aku bergegas mandi dan makan roti selai. Lalu kutanya Abie tentang keberadaan ibunya. Tapi Abie tak mengetahuinya. Saat mendengar itu, aku takut kalau istriku pergi ketempat itu lagi, sehingga diriku secepatnya keluar dan mendapati diriku menabrak istriku, di depan pintu.

"Banyak orang meninggal hari ini, termasuk teman bicaraku," ucap istriku, yang aku langsung sela dengan menanyakan Wandira. "Dia tidak pulang dari tadi malam. Katanya dia seorang dokter, jadi dia pergi ke tempat para medis," jawab istriku, dengan memandang mataku.

Aku mencoba pergi ke tempat medis untuk menyusul Wandira. Tapi di perjalanan, aku melihat beberapa orang berkerumun lagi. Mereka membicarakan sesuatu yang sebesar kucing, dan ada juga yang sebesar singa. Sampai-sampai aku mendapatkan orang-orang yang berkumpul, yang menunjukan luka, seperti luka gigitan manusia. Orang yang mendapatkan gigitan di jarinya itu pun berkata dengan bisikan

"menurutku, mahluk itu adalah serangga. Aku melihatnya berlari menghadapiku tadi malam berjumlah tiga. Para militer menembaki mereka dan berhasil mengigitku satu. Lalu setelah dua puluh menit berlalu, mereka semua berlari keluar dari zona karantina. Di saat seperti itu, para militer membersihkan arena dari jasad mahluk itu, dan aku yakin mereka membuangnya di luar zona karantina. Dan aku dengar, semua ini pasti karena sebuah ilmu pengetahuan. Mereka diciptakan tanpa sengaja," jelas orang yang tergigit itu, dan yang terlintas di pikiranku adalah alien kah.

Mataku langsung teralihkan ke arah orang berjas yang masuk ke rumah, bukan hanya satu orang, melainkan tiga orang, yang masuk ke tiga rumah berbeda. Yah... saat itu aku langsung panik, dan kembali ke tempat keluargaku berada.

Saat tiba di lokasi, rupanya Wandira sudah pulang, dan memasang wajah panik.

"Dani, kau tahu sesuatu? Aku sudah tahu apa yang terjadi, aku berharap kau tak tahu apa-apa. Mereka membunuh saksi mata yang mengetahui kejadian malam. Saat aku memeriksa pasien terluka, aku melihat sesuatu saat operasi dilakukan. Hal itu membuatku terkejut. Tapi aku harus tetap tenang. Karena, mereka yang tahu akan dibunuh," jelas Wandira, sambil memegang pundakku. "kita harus pergi tengah hari, sebelum semuanya terlambat. Mungkin dalam jangka waktu empat puluh delapan jam. Zona ini akan hancur. Karena itulah yang kudengar saat menguping pemimpin zona karantina ini," lanjut Wandira, meyakinkan diriku

Kami akhirnya bergegas mengemasi barang-barang, lalu menghentikan tindakan kami saat petugas mengetuk pintu kami. Sontak saja, kami langsung menutupi tas kami dengan sebuah kain, bahkan ada yang ditaruh di kamar mandi. Saking paniknya, saat aku ingin membuka pintu. Justru aku terjatuh, dan kepalaku terbentur pintu. Yah sepertinya aku terlalu ceroboh.

Saat kubuka, petugas itu memberi salam, dan masuk. Lalu melihat-lihat rumah kami. Setelahnya, ia membicarakan kejadian kemarin malam. Apakah kami terluka? Kami merasa flu. Tentu saja tidak. Semua berjalan lancar, sampai petugas itu ingin ke kamar mandi. Ah sialnya... Dia akan tahu kalau kami akan pergi. Tapi untungnya, ada orang mengetuk pintu, dan ada petugas lain yang masuk.

"Kita diminta kembali, ada sebuah masalah di pusat," ujar petugas yang mengetuk

"Sebaiknya kau duluan, lima menit lagi aku akan menyusul," jawab sang petugas, yang membuat diriku khawatir lagi.

Petugas yang masuk tadi pun menutup pintu, tapi yang satunya lagi mencoba ke kamar mandi. Aku terkejut, Wandira memukul hidung petugas itu sampai berdarah, dan menendang kepalanya dengan siku. Lalu saat itu kutanya, apa petugas itu mati? Wandira hanya menjawab dengan nafas tak beraturan

"Dia pingsan. Mungkin! Tapi sepertinya ini melencang jauh dari rencanaku."Wandira mengeluarkan sebuah kertas, kertas yang cukup besar. Itu sepertinya, peta buatannya sendiri.

"Zona karantina kita berada cukup jauh dari kota tepat di kaki gunung. Di kota ada zona karantina, yang menggunakan tenda. Di sana zona para pejabat, dan beberapa sipil. Aku yakin di sana aku bisa mendapat informasi yang tepat. Tapi, zona itu berada di Soreang tepat di stadion bola, jaraknya delapan puluh kilometer dari zona kita. Jadi kita harus menempuh ke sini," Wandira menandai sebuah gambar berbentuk rumah, yang ada gambar mobilnya, "inilah tempat yang ada bahan bakar, kendaraan, dan sebagainya. Kita hanya butuh mencapai dua puluh kilometer ke sana. Tapi sebelum ke sana, kita akan menelusuri desaku atau desamu. Tergantung pilihanmu, karena kita butuh kendaraan yang memiliki bahan bakar cukup untuk ke kota," lanjut Wandira, yang tentu saja aku ingin ke desaku dengan alasan, kalau ada yang ingin kuambil.

"Baiklah, kita punya waktu enam jam. Dan rencana keluar karantina zona sudah kutempatkan di tempat istrimu melihat lubang, aku sudah menggalinya, dan menghalangi lubang itu dengan papan. Dan sekarang, hanya tinggal cara kita ke sana agar tidak ketahuan. Ada yang rencana?" Tanya Wandira, dan langsung dijawab istriku.

"Aku tahu sesuatu?"

Betapa kesalnya. Sekarang aku ada di gerobak sampah. Ahhhh... Betapa menjijikannya rencana istriku, yang sekarang ada di sebelahku, begitu juga dengan anakku, dan putrinya Wandira. Sementara yang menarik gerobak ini adalah Wandira. Tempat ini cukup sempit untuk empat orang, bahkan aku sulit menggaruk bokongku. Lalu kudengar sebuah suara wanita.

"Dengarkan, kita semua akan mati. Mereka adalah kita, dan kita adalah mereka," itulah yang kudengar.Ada orang-orang menjerit, dan mengatakan

"lari. Sembunyi di rumah," Aku tak berani melihat keluar, karena takut ketahuan. Tapi anehnya, gerobak ini sedikit lebih cepat lajunya. Lalu, tudung yang menutupi gerobak pun dibuka, dan kami sudah sampai di tujuan. Aneh, Wandira terlihat khawatir, dan meminta kami dengan cepat.

Aku masuk lebih dulu, lalu anakku, lalu istriku, lalu putrinya Wandira. Dan saat bagian Wandira, ia seperti tak muncul-muncul. Aku lihat, ternyata besi penghalang banyak berceceran darah di luarnya. Kulihat di lubang besi itu, yang di temukan istriku. Dan ternyata, Wandira sedang memukuli seseorang. Lalu ia pun masuk ke lubang itu, dan menutupnya kembali dengan batu. Lalu Wandira memeluk putrinya dan berkata.

"Kupikir ayah tak bisa bertemu denganmu lagi."Baju kami kotor, dan tiba-tiba. Muncul suara keras yang memukul besi pembatas itu dari dalam. Dan itu membuat kami berlari menjauh dari situ.

Bersambung...

Dani Tales: Day By DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang