Chapter 9

27 8 2
                                    

Hanya Tinggal Kami Berdua, Dan Kamipun Berpisah


Hari demi hari, dunia membuatku seperti ini. Berjuang, bertahan, saling menolong, dan berlari. Tapi, semua itu sudah tak ada artinya lagi bagiku. Wabah ini telah membuatku kehilangan orang yang berharga bagiku, keluargaku, Ayahku. Sekarang pun, aku duduk di sebuah mulut gua tepatnya di batu yang nyaman.

Air hujan yang deras di siang hari, dan mereka berjatuhan di sepanjang daun yang kulihat dari mulut gua ini. Hatiku kesal merasakan hal ini. Hujan seolah menemaniku menangis, yang tanpa air mata ini. Dengan keadaan di gua, yang dikelilingi banyak pohon aku yakin, aku berada di sebuah pegunungan, atau bukit.

Kudengar suara langkah kaki di belakangku, suara itu menjalar pelan di telingaku. Aku tahu siapa dia, karena hanya kami berdua yang ada di gua ini.

"Berpikir ini semua berakhir, Paman ini terlalu dramatis," ucap anak SMA itu, karena kutahu hal itu dari seragam yang ia pakai.

Aku tak menanggapi pembicaraannya itu, karena bahasa anak zaman sekarang memang aneh.

"Saat aku kembali, mereka yang bersamamu tidak ada di sana. Bahkan jasadnya pun tak ada. Tapi aku menemukan ini saat aku kembali dari gua ini, untuk mengamankan paman saat paman pingsan," ucap anak itu, yang memiliki rambut putih di bagian depan rambutnya.

Dengan rasa penasaran yang membungkau di kepalaku, tanpa dikomandani kepalaku memutar, untuk melihat benda yang ia tunjukan. Alangkah kagetnya, ternyata itu Kamera HandyCam milikku.

"Kamera itu masih merekam saat aku menemukannya," jelas anak itu, sambil melempar kamera padaku.

Kulihat apa yang direkam kamera itu. Kamera itu merekam saat aku jatuh pingsan, bahkan kamera itu tertendang-tendang. Banyak manusia yang menyerang orang-orangku, dan kudengar anakku menanyakan keberadaanku yang katanya menghilang. Pada akhirnya anakku yang ingin mengambil kamera, dialihkan oleh Agil yang meminta untuk lari. Setelah lima menit, barulah kulihat anak SMA itu menemukan kamera ini, dan mengambilnya.

Saat aku melihat hal itu, aku berpikir mereka masih hidup. Tapi anak SMA yang berdiri di depanku itu mengatakan, kalau ia sudah mencari mereka selama satu jam. Laluku tanyakan padanya, jalur menuju Zona karantina si Jalak Harupat.

"Jangan berpikir ke sana, tempat itu hancur diserang mahluk itu saat fajar. Aku melihat itu tepat di depan mataku, jumlah mereka semakin banyak," balas anak itu, sambil mengambil kamera yang kupegang tadi.

Anak itu menaruh kamera ke tempat yang datar, dan mengarahkan kamera itu padaku.

Api unggun yang tadinya membara begitu besar, sekarang mengecil sebesar api pada sebuah lilin. Kulihat, langkah kaki anak itu mendekatiku, dan duduk berhadapan denganku. Dibanding anak kecil yang seumuran dengannya, kulihat dari wajahnya sepertinya dia penuh dengan motivasi. Kuambil smartphoneku, yang kurasakan di saku celanaku yang terlipat. Aku berusaha menelpon istriku, dan yang lainya. Berharap mereka selamat, tapi tidak ada sinyal sama sekali.

"Tadi pagi, aku dengar lewat radio. Pemerintah memutuskan aliran listrik yang ada di luar zona karantina. Jadi percuma bila kau menggunakan smartphonemu di sini, bahkan radiopun tidak berfungsi saat ini," jelas anak itu, seolah ia tahu apa tindakanku di setiap detiknya. Jawaban itu membuat aku makin khawatir, apakah keluargaku selamat, atau mereka sudah tiada.



Anak yang berpakaian putih abu-abu itu memegang kakiku, dan mengatakan kalau dia sudah melihat isi dari kamera itu.

"Kusimpulkan di rekaman itu, Agil yang tidak percaya pada orang-orang tahu akan kecurangan pemerintah, dengan alasan meredahkan kepanikan. Agil tahu alasan kenapa saat evakuasi, pemerintah memisahkan dua area. Agil tahu, kalau hanya satu area saja yang diselamatkan, sementara orang-orang area evakuasi lain akan dibunuh karena sudah terinfeksi. Saat Wandira berbicara dengan Agil, saat ia memasang jebakan, kulihat dalam rekaman itu. Wandira menjelaskan tentang awal mula infeksi ini terjadi. Ia mengatakan kalau ini terjadi karena panasnya atmosfir buatan, yang memuai dan mengkristal menjadi titik debu, yang dalamnya panas dan luarnya dingin. Benda itu memiliki sesuatu yang hidup, atau bisa di sebut SPORA. Spora itu bereaksi pada FORMIC ACID dalam bentuk gas sebagai makanannya, dan HYDROGEN MONOKSIDA untuk mengendalikan tubuh inang dengan leluasa, dan itulah yang menyebabkan otak inangnya hilang, dan menyisakan insting atau nafsu manusianya. Dan satu hal lagi, inang yang mengkonsumsi HYDROGEN CYANIDE, Spora itu akan membakar beberapa bagian paru-paru dan beberapa organ lain. Lalu menumbuhkan bulu pada beberapa organ, Dan menggunakan paru-paru sebagai tubuh mereka, bila inangnya mati. Saat pembicaraan itu selesai, Agil dibawa oleh anakmu. Beberapa saat kemudian, terdengar tembakan. Wandira pergi menghampiri suara itu, dan mendapati seorang remaja ditembak kepalanya. Yang membuatku terkejut, itu orang yang selalu membuliku do sekolahku saat SMP," jelasnya, menyimpulkan pendapatnya.

Dani Tales: Day By DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang