Chapter 7

39 7 1
                                    

Dunia, Hari, Waktu, dan Harapan Telah Pergi

Setelah tiga hari. Akhirnya, aku bisa lihat mahluk parasit itu dengan mataku langsung. Betapa aku bersyukur telah diselamatkan oleh dua orang baik ini. Mereka bercerita tentang diri mereka, yang terpisah sejak di hari pertama wabah dunia. Bagaimana bertahan hidup? Dan mencari makanan. Mereka bernama Agil, seorang anggota pramuka, dan pemuda bernama Keken. Mereka bertahan, dengan memasang jebakan untuk melindungi tempat ini, yang dipakai sebagai persembunyian. Kami menceritakan kisah kami juga pada mereka. Aku dan keluargaku, berserta dengan Wandira dan Putrinya. Bertujuan pergi dari sebuah desa, menuju ke Soreang tepatnya di Stadion Bola. Dengan tujuan, mencari tempat perlindungan lebih aman.

"Kalian jangan ke sana! Apapun yang mencoba datang ke sana, pasti akan di tembak. Mereka serakah untuk berbagi tempat berlindung," ucap Agil, memperingatkan kami yang baru tahu hal itu, "di sana adalah tempat para pejabat, dan orang-orang penting berlindung. Mereka berpikir mereka pantas bertahan hidup dengan alasan, untuk melindungi ras manusia," lanjut Agil, dengan mata yang terlihat memedam emosi.

"Bagaimana kau..."

"Mengorbankan beberapa untuk, melindungi beberapa," ucap Agil, menyela pertanyaan Wandira, "kau tahu, itu hampir sama dengan kalimat 'Makan atau dimakan' benar bukan. Katakan padaku bila aku salah," lanjut Agil, menjelaskan sesuatu yang menurutnya benar.

Aku melihat Wandira terdiam tak berkata. Tak pernah sekalipun selama kami bertemu, melihat Wandira terdiam oleh kalimat orang lain. Istriku berdiri dan menghampiri Agil, dan berkata

"Jadi, sekarang apa? Apa yang kita lakukan selanjutnya? Apa kita harus keluar kota, mencari tempat lain?" Tanya istriku, dengan nada yang lembut. Padahal aku sendiri, tak pernah ditanya lembut seperti itu olehnya. Tapi kupikir positif, kalau istriku memerlukan informasi dari Agil, seorang anggota pramuka itu.

"Sampai kapan kalian semua menyadarinya? Dunia sudah berakhir. Hari esok telah pergi, hari-hari kita telah pergi. Manusia membayar, apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Jika hari ini manusia masih berusaha untuk bertahan, aku yakin hanya mampu bertahan tiga puluh sampai empat puluh tahunan. Mati perlahan, atau mati cepat. Apa bedanya kedua itu jika akhirnya sama?" Jawab Agil dengan lantang, tapi tenang. Nada bicaranya memang meninggi, tapi kata-katanya itu sangat pintar. Semua itu benar, mati perlahan tetaplah sama. Aku mendekati istriku, karena kulihat ia juga terdiam oleh kata-kata Agil. Kalau mereka bisa sampai seperti itu, apalagi diriku yang belum mengerti semua kejadian. Tapi, aku pun bertanya pada Agil dengan wajah serius, tentang bagaimana ia tahu tentang zona karantina di Stadion bola itu.

"Biar kuperlihatkan sesuatu," ucap Agil, selagi berjalan melalui kami bertiga. Tentu saja kami ikuti.

Ternyata, ia memperlihatkan orang yang terluka di perut, dan memakai pakaian militer. Ternyata ia mendapatkan informasi dari orang itu, yang ternyata bersal dari zona karantina di jalak harupat.


Pagi hari, aku terbangun tergeletak di lantai. Padahal sebelumnya aku merasa tidur di tikar. Mungkin karena aku merasa nyaman, jika tidur di lantai yang dingin, daripada bantal yang mudah hangat.

Kulihat di tanganku ada darah. Kulihat sebelah kanan, ternyata istriku mati di sebelahku, dengan pergelangan tangannya yang sudah terpotong. Kulihat, air matanya masih baru dipipinya. Dadaku terasa sakit, menyaksikan sesuatu yang tak terbayangkan. Lukaku ini membuat bibirku bergetar, dan gagap saat mengucapkan nama istriku. Mulutku terbuka lebar, selebar-lebarnya. Kukeluarkan nada tangisku yang seperti orang tersedak. Kulihat istriku yang terbaring tak bernyawa di pangkuanku. Alangkah sakitnya, apa yang kulihat saat ini.

Saat beberapa lama, aku teringat anakku Abie dan yang lainnya. Hal itu membuatku berhenti menangis, dan menaruh kepala istriku perlahan.

Dani Tales: Day By DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang