"sudah tidur, sayang?"
Suara lembut seorang wanita terdengar jelas. Tangannya mengelus sayang rambut panjang Bhila. Terdengar hembusan pelan dari rongga hidung Bhila. Sedetik kemudian, Bhila duduk di samping wanita dengan baju merah maron yang di lengkapi celana hitam selutut yang tak lain adalah Gin, mama Bhila.
"Belum Ma." sahut Bhila malas. "Bukanya tadi itu suara mobil Dinda ya, Ma?" Lanjut Bhila.
"Iya!"
"Terus dia kemana? Apa sudah pulang? Syukurlah kalau sudah pulang!" Wajah resah Bhila berubah datar.
Kebiasaan Dinda kalau datang kerumah Bhila langsung masuk ke kamar Bhila tanpa permisi dan itu sudah bisa di pastikan. Tetapi untuk malam ini tak ada tanda-tanda cewek itu datang. Sangat jelas kalau Dinda hanya berkunjung sebentar di kediamannya. Syukurlah.
"Bukanya kamu senang kalau Dinda kesini?"
"Ya senang sih, Ma. Tapi untuk malam ini TIDAK!" Jawab Bhila penuh penekanan di kata terakhir. "Kalau dia sudah pulang, ngapain dia kesini?" Lanjutnya.
"Siapa bilang kalau dia pulang?" Jawab Gin dengan senyum tipis.
"Hah?" Mulutnya membuka sempurna.
"Dinda masih makan di bawah. Kata Dinda, mama papanya ke luar kota untuk tiga hari kedepan. Sedangkan, bibinya pulang kampung. Ter-"
"Mau tidur disini?" Tebak Bhila yang sangat berharap tebakannya salah seratus persen.
"Iya!"
"Arggh!"
Bhila merebahkan tubuhnya di atas spring bed. Menutupi mukanya dengan bantal. Argh! Bakal jadi narasumber ni gue.
Melihat aksi putri semata wayangnya, Gin hanya tersenyum.
"Ayo makan malam!" Ajak Gin.
"Nanti!" Jawab Bhila yang suaranya tidak jelas karena tumpukan spons menghalangi jalannya gelombang tranversal dari mulut Bhila.
"Kalau gitu mama ke bawah dulu."
Suara hentakan kaki semakin menjauh. Tak lama pintu tertutup. Bhila membuka bantal yang beberapa menit lalu menutupi mukanya.
Klek
Pintu terbuka. Bhila segera menenggelamkan wajahnya untuk kedua kali. Berharap tidak akan ada wartawan yang mengunjunginya.
"Jangan lupa makan! Kalau gak makan uang jajan di potong." Suara lembut tapi penuh ancaman yang berasal dari Gin. Wanita itu masih berdiri di mulut pintu dengan tangan kiri masih memegang Handle pintu.
Terdengar gumaman pelan dari mulut Bhila.
Pikiran Bhila berkelebat. Mencari cara untuk menghindari ribuan pertanyaan yang akan di lontarkan Dinda. Sahabatnya itu memang memiliki tingkatan kepo maximum dan gak akan berhenti nanya kalau jawabannya gak jelas.
Memorynya kembali mengulang kejadian tiga hari lalu ketika Bhila harus menjelaskan sepanjang-panjangnya di saat seorang kakak kelas yang tidak ia kenal berjalan menjajarinya sambil mengulum senyum sok manis. Padahal hanya senyum. Kalau Dinda tau hari ini Bhila jalan sama Arka bisa begadang dia semalam hanya untuk penjelasan.
klek
"Apa lagi,Mam-"
"Hai, hai, nona Bhila." Suara khas itu terdengar menggema. Dinda. Tak lupa senyum yang mengembang ia lontarkan lalu duduk bersila di depan Bhila "Ni gue bawa makanan di suruh tante. Katanya 'WAJIB DIHABISKAN'!" Menyodorkan mie kuah dengan tambahan sayur, sosis dan tak lupa telur yang menjadi makanan favorit Bhila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe?
Teen Fiction"Gue nggak perlu merasakan indahnya jatuh cinta, untuk mengerti pedihnya sakit hati." Nabhila Joecellin Kashila. "Bukan gue yang butuh Lo. Juga bukan Lo yang butuh gue. Tapi kita saling membutuhkan. Layaknya siang dan malam, matahari dan bulan, tang...