AR: 003 | Old Music

47 6 0
                                    


AKU BERADA DI LAPANGAN BASKET UNTUK BERLATIH. Aku tak tau mengapa sepertinya hari ini bukanlah hari yang tepat bagiku untuk berlatih basket. Sudah berkali-kali Vanessa mengumpan bola kepadaku, namun tidak satupun berhasil ku masukkan ring.

"Kau baik-baik saja, Rhe?" Tanya Emily ketika tembakan bolaku tidak tembus ring.

"Entahlah."

Miss Rebby hanya perlu tiga kali tepukan tangan untuk mengumpulkan kami selepas latihan. Aku dan anggota tim ku bergegas menuju ke arahnya. Kami memang sangat lelah dengan latihan hari ini. Bisa ku lihat baju Vanessa yang sudah kuyup, rambut Emily yang sudah tidak rapi lagi dan Jihan yang selalu mengusap wajahnya dengan handuk kecil. Bukan hanya mereka, anggota timku yang lain pun juga tampak letih pada wajahnya. Namun aku merusak jerih payah mereka dengan pikiranku yang sedang kacau.

"Latihan untuk hari ini sudah cukup. Ku harap kalian lebih sering berlatih. Kalian boleh istirahat. Rhea, kau tinggal di sini." Ujar Miss Rebby dengan alis yang sedikit bertautan. Aku tau tanda apa itu.

Ketika semua anggota tim basket untuk LBS meninggalkan lapangan–kecuali aku–dengan terburu-buru, Miss Rebby memulai pembicaraanya denganku.

"Rhea, ada apa denganmu hari ini. Sudah tiga kali latihan tapi kau tetap saja tidak membuat perubahan. Kau bahkan bermain dengan sangat buruk daripada biasanya. Jangan membuatku menyesal telah memilihmu sebagai kapten basket" Kata Miss Rebby dengan tangan terlipat di depan dada, alisnya bertautan, wajahnya juga merah hingga aku tak bisa membedakan inikah raut wajah kecewa atau bahkan lebih mengarah kepada raut marah.

"Maafkan aku. Aku akan berusaha lebih baik lagi." Jawabku dengan nada serendah mungkin sehingga sungguh tampak aura penyesalan di dalam diriku.

"Aku akan memberimu kesempatan. Namun jika kau tetap tidak bisa fokus dengan latihan kita. Aku meminta Vanessa untuk menjadi kapten basket. Bukan hanya menggantikanmu dengan Vanessa, aku juga akan mencari pemain penggantimu." Kata Miss Rebby.

Aku tak begitu mengerti dengan pikiranku sekarang. Mengapa aku menerjemahkan kata-kata Miss Rebby adalah sebuah ancaman bagiku. Aku hanya mengangguk pasrah. Aku tak bisa berkata-kata lagi untuk menjawab kalimatnya barusan. Hatiku terasa sesak. Tanpa berpikir lama, aku segera pergi ke ruang ganti baju dan segera mengambil gitarku ke arah aula sekolah. Aku tau tempat itu sedang kosong untuk saat ini. Bukan hanya saat ini saja, melainkan untuk tiga hari ke depan karena sekolah sedang mempersiapkan proyek pembangunan gedung baru dan pastinya para pejabat sekolah sedang berkumpul di ruang rapat.

Aula. Tempat yang sungguh menenangkan bagiku. Tidak ada suara berisik dari geng gadis-gadis centil. Sungguh senyap dan sangat cocok untuk membuatku santai. Dengan rambut tergerai ke samping, aku menarik sebuah kuris di panggung aula dan mengambil gitarku dalam tas. Gitar ini adalah gitar pemberian nenekku. Aku selalu teringat dengan nenek ketika memainkannya. Dahulu ketika aku masih kecil, neneklah yang merawatku, menghiburku dan membesarkanku. Jika orang-orang bertanya ke mana orang tuaku, aku selalu menjawab bahwa mereka sudah meninggal. Aku tak peduli dimana mereka sebenarnya. Namun nenek selalu sedih bila aku memberi status tiada pada kedua orang tuaku. Bagaimana lagi, aku tak pernah mendapat kabar semenjak menduduki bangku kelas 1 SD. Jadi, ku anggap saja mereka sudah tiada hingga nenek memberiku hadiah dengan syarat aku tidak boleh menganggap orang tuaku sudah meninggal dan tidak boleh membenci mereka. Aku pun menyetujuinya dan menerima hadiah pemberian nenek.

Gitar inilah isinya.

Aku mulai memetik senar dan memejamkan mata menyambungkan setiap irama yang terbentuk dari petikan senar itu dengan hatiku. Aku memainkan sebuah lagu dan mulutku secara reflek mengeluarkan syair-syair pengisi nada itu. Aku meresapi tiap-tiap nada yang keluar bersamaan dengan lirik yang ku lantunkan. Aku merasakan udara segar mengelilingi tubuhku menghantarkanku menuju tempat terbaik yang jauh di lubuk hatiku. Aku pun membuka mata ketika lirik penutup lagu itu terucap setelah nada pengiringnya berakhir. Ku dapati Aaron berdiri di depan kursi penonton di lantai 2 dan pergi keluar dari aula ketika aku hendak menanyakan apakah ia sudah lama berada di sana.

Sea of Shades | Love is Poison and UnrealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang