AR: 011 | What Happen Actually?

16 2 0
                                    


Don't forget vote and comment!



"Di malam ketika hujan merintih meminta kehidupan, aku mencabutnya."


AKU MENGHIRUP UDARA DI FRISTAL BEACH. Entah mengapa, udara di sekitar pantai Fristal Beach sungguh menggodaku untuk berenang. Pagi ini, pantai yang terkenal dengan lokasi terbaik bagi para peselancar dan jet ski terlihat begitu ramai. Banyak di antara mereka hanya berjemur dan berbincang-bincang. Aku membawa diriku menuju batas darat dan lautan itu. Menghampiri kumpulan manusia yang tengah berteriak seperti segerombolan penyemangat pertandingan basket. Bibir mereka berkali-kali mengucapkan deretan kata yang terdengar seperti mantra—aku tidak terlalu mendengarnya. Mereka sangat antusias. Mungkin sedang ada pertandingan berselancar kecil-kecilan.

Membatalkan niatku untuk menghampiri gerombolan penyemangat itu, lebih baik aku berjemur sembari melihat pemandangan sekitar. Sedikit memejamkan mata menikmati embusan angin yang menerpa wajah dan cuitan burung sekitar pantai. Deburan ombak yang terdengar seperti sebuah musik penyegar otak. Sejenak aku menikmatinya, kini rasanya sangat mengantuk dan aku tertidur tidur.

Semua orang tau Fristal Beach adalah tempat yang cocok untuk berjemur. Salah satu alasan mereka agar dapat tertidur dengan udara semilir disekililingnya. Sejenak pikiranku teringat dengat wajah Steve ketika dengan kerasnya ia memperingatkanku agar tidak mengunjungi tempat ini. Aku masih tak tau kenapa ia melarangku. Yang jelas saja, Arvind juga melakukan hal yang sama.

"Maaf nona, ini tempatku. Bagaimana bisa kau menempatinya begitu saja?"

Suara berat seorang laki-laki terdengar seperti dengungan yang begitu keras di telingaku. Suaranya seakan ingin melawan angin yang berderu. Dia menyibakkan beberapa tetes air hingga membuatku terbangun. "Ah, ma-af." Astaga, si ikal gila itu lagi. "Kenapa kau ada di sini?"

Dia terkekeh. "Kau bertanya kenapa? Yang benar saja. Pantai adalah rumah keduaku. Lebih baik kau pergi dari kursiku sekarang juga. Aku mau duduk."

Rumah kedua. Ya, dia seorang penggila adrenalin. Dengan papan selancar di antara lengan kirinya itu, aku bisa menebak bahwa ia baru saja memainkannya. Atau mungkin ia mengikuti kompetisi yang dipenuhi penyemangat ramai tadi? Ah, dia pasti gagal dalam kompetisinya, maka dari itu dia kembali. Jika dia memenangkan kompetisi itu, pastilah dia masih di sana dengan beberapa gadis seksi yang menggodanya.

"Tidak bisa. Maaf tuan ikal gila. Di sekitar sini masih banyak bangku kosong. Kau bisa memilih salah satu. Atau dengan keegoisanmu, kau bisa memilih semuanya." Kataku dengan sedikit penekanan di beberapa kata, terutama pada kata egois.

Aaron hanya mendecih dan membuang muka. "Jika kau tidak mau beranjak sekarang juga. Aku akan duduk tanpa menghiraukan keberadaanmu." Ucapnya tegas.

Aku melipat kedua tanganku di atas dada dan masih bersandar ada kursi dengan kaki yang diluruskan. Mengangkat dagu, aku membuang muka. Kalimat Aaron sungguh menjijikkan. Dia tak mungkin melakukannya.

"Kau butuh hitungan ketiga untuk berdiri?" Tanyanya dengan sedikit ancaman dan rasa kesal. Oh tidak! Dia sedang kesal. Biarkan saja. Aku tak peduli

Aku masi pada posisiku tanpa menatap wajahnya. Aku bahkan tak menjawab pertanyaannya yang memang tidak membutuhkan jawaban. Bukankah sudah ku tekankan pada kalimatku sebelumnya: masih banyak bangku kosong sekitar sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sea of Shades | Love is Poison and UnrealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang