AR: 008 | Frighten Full Moon

20 3 0
                                    

AKU TIDAK TAU HARUS PERGI KE MANA. Malam ini sepertinya aku harus tidur di bawah langit di temani sang dewi malam. Aku diusir dari rumah oleh Ibu selepas pulang dari St. Emerald. Kata Ibu, aku tidak pantas tinggal di rumah lagi. Aku adalah adik yang tak tau diuntung. Ya, mungkin itu memang benar. Dia sempat menyumpahiku beberapa kali. Aku tak tau apa yang membuat Ibu membenciku seperti itu. satu hal yang harus Ibu dan seluruh keluargaku tau—aku bukan pembunuh Steve. Bukan hanya Ibu yang memperlakukanku seolah aku ini adalah pembunuh Steve, Ayah, bibi dan yang lainnya juga. Tapi, misteri meninggalnya Steve adalah sebuah misteri. Aku bahkan tidak tau apa yang membuatnya tiada. Aku berjalan di sepanjang jalanan komplek. Aku biasa melakukan ini di pagi hari—jogging—dan selalu bertemu Celine yang sedang bermain dengan anjingnya. Namun, jogging pada malam hari bukankah kurang etis. Ini sudah terlalu larut untuk aktivitas itu.

Aku berhenti dan duduk di atas sebuah kursi taman yang diapit oleh dua lampu taman besar. Dua buah penerangan yang cukup remang dan pantas dijadikan tempat merenung. Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi taman. Menatap langit yang dipenuhi bintang. Aku memikirkan matang-matang semua permasalahan yang akhir ini ku alami. Aku harus menemukan solusinya. Namun, aku tau semua ini butuh waktu. Aku melihat layar ponselku yang hampir mati. Pukul dua belas dini hari. Aku tak pernah terjaga hingga selarut ini. Hembusan angin malam yang terasa berbeda di kulitku—ini pertama kalinya aku merasakan angin malam. Dedaunan yang bergoyang, angin yang menyapu rerumputan, dan cahaya redup dari kedua lampu. Semuanya lengkap untuk mendampingiku saat ini.

Aku harus beristirahat sekarang. Esok, aku harus sekolah. Oh tidak, aku tak punya cukup uang untuk membayar uang pembelajaran. Mungkin bekerja sebagai trainer di tempat fitness adalah keahlianku. Namun, mana ada sebuah tempat fitness yang menerima pekerja tanpa ijazah. Mustahil. Apakah mungkin seorang bartender adalah solusinya? Aku harus menjadi bartender untuk mendapatkan uang. Meninggalkan pelajaran untuk beberapa kali bukanlah masalah. Aku mungkin akan kehilangan cita-citaku di waktu dekat ini, tapi aku masih bisa mengusahakannya. Kelopakku sudah tak mudah lagi terangkat. Aku mulai mengantuk dan kini rasa kantuk itu kian berat. Aku tertidur.

***

Cicitan burung dan tetesan embun dari dedaunan yang menggantung di atasku membuatku terbangun. Aku tertidur di taman. Pagi ini langit London terlihat mendung. Cahaya matahari terasa sendu di kulitku. Aku menghapus tetesan embun di wajahku dengan bajuku. Aku sudah tidak mandi seharian ini—mulai dari kemarin—dan sekarang aku mencium bau tidak sedap yang sepertinya berasal dari bajuku. Aku masih memakai baju sekolah kemarin. Kulitku juga terasa lengket ketika sesekali aku meregangkan tubuh. Menjijikkan.

Pagi ini aku tak melihat seorangpun yang berolahraga. Biasanya taman ini sangat ramai di pagi hari. Namun hari ini sungguh berbeda dari biasanya. Aku tak melihat Celine dan Theodore—anjing kesayangannya. Aku memperbaiki posisi dudukku agar terduduk dengan tegak di atas kursi taman. Menatap langit, aku baru tersadar dengan benda pada genggaman telapak kiriku—sebuah senter milik pria asing. Aku masih membawa senter itu, dan kini aku tersadar bahwa aku harus mengunjungi makam Steve. Aku sudah berjanji untuk datang di pagi hari kemarin. Aku beranjak dari dudukku dan melesat menuju makam Steve dengan senter di tanganku—aku ingin mengembalikannya. Aku harus berjalan jauh untuk sampai di St. Emerald. Aku tak punya pilihan selain berjalan kaki karena aku tak punya uang untuk naik taksi. Aku juga tak bisa meminta tolong kepada Arvind maupun Jenny karena ponselku mati sejak tadi malam. Di perjalanan, hampir semua sorot mata menatapku dengan sangat aneh. Mungkin mereka mengira diriku adalah orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa atau bahkan seorang gelandangan yang berusaha untuk meminta bantuan—faktor rambut yang berantakan.

Aku mempercepat langkahku karena aku merasa hampir semua sorot mata menatapku jijik. Berhenti di depan gerbang St. Emerald, aku terpaku pada pemandangan yang tak biasa. Segerombolan manusia berjubah merah mengelilingi sebuah makam dan membongkarnya. Aku tak menghiraukan mereka. Melangkahkan kaki melewati gerbang St. Emerald aku berkeliling mencari makam Steve sambil sesekali membungkuk untuk berusaha membaca nama yang tertulis pada batu nisan. Aku terus berkeliling. Hanya satu yang ku cari—batu nisan bertuliskan nama kakakku—tapi aku tak kunjung menemukannya. Aku sudah membaca seluruh batu nisan kecuali yang berada di tengah gerombolan manusia jubah merah itu. Setelah merasa lelah berkeliling makam seluas 2 hektar itu, aku menyempatkan duduk di depan gedung pembaktisan. Biasanya penjaga St. Emerald tinggal di sini, mungkin aku dapat bertanya tentang letak makam Steve.

Sea of Shades | Love is Poison and UnrealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang