Aku, Dinar, mahasiswa semester 1 jurusan ilmu politik. Apa aku menyukainya? Tidak. Aku benci setiap jengkal dari kata politik. Mengapa aku memilihnya? Satu-satunya alasan adalah ibuku.
Aku, Dinar, hidupku biasa-biasa saja. Tidak ada sesuatu yang terlalu spesial atau membosankan. Semua berjalan biasa-biasa saja, sepertinya.
"Dinar, ayo cepat," wanita itu, ibuku, menyuruhku bergegas.
Ya, pagi yang hebat sekali. Hari ini hujan, aku membencinya, membuat semuanya berjalan begitu lambat, membuat bising alam meniupkan bau tanah, membuat yang kering membasah. Pemandangan yang tidak menyenangkan. Sepertinya aku dan sepedaku akan puas dengan musim seperti ini selama 5-6 bulan ke depan.
Aku, Dinar, membenci banyak hal tentang pemahaman hidup. Buatku, ibu satu-satunya hal yang tidak ku benci.
"Baiklah sepeda bututku, ayo lekas pergi ke universitas yang membosankan itu."
***
"Dunia ini begitu besar, amat luas, begitu banyak objek didalamnya yang bisa kita deskripsikan, baik secara ilmu sains, atau ilmu logika yang sulit dipahami.....""Jadi beginilah cara mengubah air laut menjadi air tawar. Lihat, tidak ada sesuatu yang mustahil untuk anak kimia, jadi mulailah berkarya....."
"Dunia ini tak pernah sesederhana yang terlihat, tidak ada yang pernah mengira bahwa minyak bisa menyatu dengan air kan? Maka, jadilah kalian orang-orang dengan teoritas tinggi....."
Baiklah, setiap kelas yang kulewati sepertinya amat menyenangkan. Siapa pula yang ingin belajar politik sepagi ini, membosankan. Ibu salah, seharusnya aku masuk juruasan ilmu sains, bukan politk. Sudahlah, sepertinya pagi ini aku akan kembali berkutat dengan politik dan semua di dalamnya yang membosankan.
"Dinar, kelas sudah dimulai sejak 15 menit lalu. Kenapa kau terlambat?" Dosen politik gendut yang menyebalkan itu menatap galak. Ya tuhan, lihatlah, semua rambutnya yang berdiri itu, apa di rumahnya tidak ada sisir atau sejenisnya?
"Maaf, Pak, sepertinya teori jam dering saya terpeleset 15 menit dari waktu aslinya. Mungkin kutub-kutub baterainya terbalik. Ah, ya, mungkin saya lupa memasang kabel-kabel biru bermuatan ke kutub positif baterai. Ya ampun, percobaan ke-19 gagal lagi, sepertinya apabila arah jarum jam dua ber....."
"Sudah-sudah, duduk! Sepertinya kau salah masuk jurusan. Ayolah Dinar, soal politik sekali saja kau mengerti, aku akan memindahkanmu ke semester dua,"
"Kau seharusnya sudah semester dua tahun ini, ya tuhan, harus bagaimana lagi caraku mengajarimu. Aku bahkan sudah bosan melihat rambut keritingmu melambai mengejekku seperti itu," kali ini rambutnya makin berdiri.
"Baiklah, kita lanjutkan dengan pentingnya politik bagi negara dan....."
"Ngga penting banget," gerutuku dalam hati.
***
Hari ini hebat sekali, pagi politikku dimulai dengan omelan. Lagipula, siapa juga yang rambutnya mengejek, selera kata-katanya begitu aneh.
Masih untung hari ini aku masuk kelasnya, awas saja nanti, aku akan menciptakan sebuah alat yang bisa mengubah rambut berdirinya itu agar duduk, atau alat yang lebih canggih lagi, mungkin rambutnya nanti akan kubuat salto. Ya, itu akan sangat menyenangkan jika saja jam deringku bisa kuselesaikan di percobaan ke-20 nanti.
Lihat, hidupku memang seperti ini. Apakah nanti akan berubah? Aku tidak tahu. Dan apakah aku akan menemukan alat pengubah gaya rambut itu? Aku juga tidak tahu.
Ini hidupku, jangan bosan, yang menyenangkan bahkan belum dimulai. Benar-benar belum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar [HIATUS]
Science FictionBenci. Itu adalah suatu emosi yang kuat. Benci. Adalah sebagian dari rasa yang mungkin tak pernah tersampaikan. Aku 18, itu berarti bulan purnama milikku sudah ke-216 kali. Aku, Dinar, anak emas ibu.