Bag. 2 "Ibu adalah segalanya"

76 7 2
                                    

                            ***
   Kembali ke 1 tahun lalu saat usiaku 17.

   "Pengalaman itu penting, sayang. Tidak peduli darimana datangnya, tidak peduli kapan adanya. Semua itu membantumu tumbuh, memberimu pemahaman hidup yang baik," kata Ibu sambil terus bermain dengan kuali besarnya, aromanya kemana-mana.

   "Tapi, bu, masa iya Dinar harus masuk jurusan ilmu politik? Dinar tidak berbakat dibidang itu," aku mengeluh, sepertinya perdebatan ini sulit sekali menemui titik tengah.

   "Yang jelas jangan ikuti jejak ayah! Ibu tidak mau kamu menggeluti ilmu sains, itu akan membuatmu gila," kali ini ibu bersungut-sungut, melampiaskan kesal pada kualinya.

   "Bu, sains itu penting. Itu ilmu dasar. Ibu tahu? Sebelum mesin ditemukan, orang belajar dulu fisika. Sebelum adanya ribuan tambang itu, orang belajar dulu struktur bumi, dengan sains bu, sains," Ibu tetap tidak menggubris, garis mukanya menegang.

   Malam ini begitu rumit, aku tidak menyangka setelah lulus SMA hidupku akan berubah drastis. Ayah meninggalkan kami sepuluh hari lalu saat pengumuman kelulusanku, pergi untuk selamanya. Kupikir itu adalah hari tergelapku, ternyata tidak. Dua hari kemudian justru lebih buruk, Ibu menyuruhku belajar di universitas politik.

   Politik? Apa itu politik? Ayolah, sejak SMA aku hanya berminat pada sains. Lagipula, Ayahku adalah seorang ilmuwan, kakekku teknik kimia, ayah dari kakekku dokter ternama, kakek dari kakekku bahkan lebih hebat lagi, seorang penemu mahsyur. Aku sangat mengidolakannya.

   Lalu, bagaimana mungkin aku akan masuk jurusan politik? Darah sains saja mengalir dalam tubuhku. Tidak, malam ini aku akan meyakinkan ibu.

   "Bu, Dinar mohon," kali ini mataku berkaca-kaca. Ini jurus andalanku, tidak ada yang bisa menolak permintaanku jika sudah begini.

    Tapi kali ini lain, kali ini tidak sesuai dugaanku. Ibu justru menangis. Lihatlah, Ibu yang paling tegar saat semua orang menangisi kepergian Ayah, Ibu yang paling tegar saat semua orang menghinanya sebagai istri pembawa sial. Hari ini tersungkur dihadapanku, memohon dengan ketidakberdayaan sebagai seorang Ibu yang akan membesarkan anaknya seorang diri.

   Melihat semuanya rumit, aku terbungkam. Bagaimana ini? Bukankah aku yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, bukan Ibu? Bukankah aku anak lelaki satu-satunya yang seharusnya melindungi Ibu, bukan membuatnya menangis? Hebat Dinar, hebat.

   "Tidurlah, sayang. Apapun yang kau lakukan, Ibu akan mendukungmu," Ibu mencoba tersenyum. Tapi senyuman itu salah sudut, hatiku justru terasa lebih tertusuk dari keadaan awalnya.

   Lihatlah ini Ayah, lihat. Hari ini Ibu menangis, hari ini Dinar menyakiti Ibu. Dinar mengingkari janji pada Ayah, aku tidak bisa menjaga senyuman cantik Ibu, maafkan Dinar, Ibu.

   Dan berjam-jam setelah kejadian itu, aku sudah memutuskan bahwa Ibu adalah segalanya buatku, aku akan menuruti segala keinginannya termasuk tentang jurusan politik itu, meskipun itu berarti merobek sebagian hatiku. Aku akan melakukannya, sungguh, Dinar akan melakukannya, bu.

                            ***

   "Dinar sudah bangun, sayang? Matamu sembab," Ibu membangunkanku sejak pagi, usahanya baru berhasil jam 8 ini. Jam berapa tadi malam aku tidur? 2,3 aku tidak tahu. Aku begitu lama menangis, begitu banyak yang aku pikirkan.

   "Tidak Ibu, Dinar hanya lelah, makanya ini jadi sembab," aku berusaha senormal mungkin, Ibu juga kurasa begitu, dia mencoba melupakan kejadian tadi malam.

   Ibu tersenyum mendengarku bergumam.

   "Dinar, kau anak sains, tidak logis jika alasannya begitu, kan? Ibu tahu itu," skak, bagus, Ibu selalu tahu kapan aku berbohong, kapan aku takut, Ibu selalu tahu.

   Aku mendengar nafas Ibu menderu, Ibu bernafas panjang lalu menge-puuh pelan. Kenapa Ibu cemas begini?

   "Begini, sayang. Tadi malam..."

   "Tidak Ibu, Dinar sudah memikirkannya. Dinar akan masuk politik sesuai keinginan Ibu," aku memotong kalimat Ibu, Aku tahu, tidak baik jika memulai perdebatan lagi. Meski rusak, aku akan melakukannya untuk Ibu.

   Ibu memelukku erat.

   "Ibu tidak akan memaksamu jika kau tak ingin,"

   "Tidak bu, sudah Dinar putuskan," aku membalas pelukan Ibu, lama, nyaman sekali berada di pelukannya. Ibu selalu menjadi tempat pulang terbaikku.

   "Kau sungguh anak yang baik Dinar, sungguh,"

                            ***

Dinar [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang