***
"Apa? Bagaimana mungkin kau disini?" Mataku langsung menyorot tajam kearahnya. Lihat, dia sudah datang ke rumahku dengan gaya khasnya "berkacak pinggang". Apa dia bolos di kelas terakhir? Harusnya masih ada kelas dua jam kedepan sampai pukul dua. Masa dia yang begitu pedulinya dengan intrik politik itu bolos begitu saja demi menemuiku di rumah? Mencurigakan.
Dia menarik lenganku, menyuruhku bergegas, "Hei, cepatlah! Aku tak punya banyak waktu." Oh ya, tentu saja, aku lupa kalau dia memang sangat kecanduan politik. Aku yakin selepas ini dia akan langsung kembali ke kelas itu.
"Apa saja untuk melunasinya kan?" Matanya menyelidik ruangan tempat kami berdiri. "Ya." Aku menjawabnya singkat. Ini laboratorium Ayah. Aku terpaksa mengajaknya kemari karena aku yakin di rumah tidak ada sesuatu yang nilainya setara dengan jam montepetranya itu.
Dia mulai mencari, menyusuri setiap ruang yang dibatasi sekat lemari-lemari panjang berisikan perlengkapan lab dan penemuan-penemuan Ayah. Aku benci tiap kali dia memgamati alat-alat disana kemudian mengacuhkannya dengan tatapan menghina.
Dia berhenti di salah satu sekat. Itu jantung lab, tepat sekali. Semua penemuan hebat Ayah ada disana. Dia memang seperti ular, tau betul mana yang berkualitas.
Dia mengambil sebuah bungkusan kecil, isinya aku tidak tahu. "Apa itu?" Aku berusaha menanyakannya, tapi gagal. Apa itu yang nilainya setara dengan jam montepetra?Dia tidak mau menunjukannya padaku. Dia tersenyum setelahnya, mengucapkan terima kasih. Lalu pergi begitu saja.
Apa yang dia ambil? Sesingkat itu tanpa berkonfirmasi dulu padaku. Hei, memang dia siapa seenaknya begitu. Tapi aku sudah berjanji dia boleh mengambil apapun yang dia mau. Jadi, terserahlah aku tidak peduli. Barang-barang paling berharga Ayah juga sudah aku pindahkan semua ke lab rahasiaku. Jadi, pasti aman.
"Hei, namaku Lula," dia kembali sebentar untuk mengatakan itu kemudian bergegas pergi lagi. Memang siapa yang menanyakannya? Gadis aneh.
Sejak hari itu, aku tahu namanya. Itu permulaan yang bagus mungkin karena suatu saat entah oleh apa sebabnya dia akan menjadi rekanku untuk mencari skossel.
***
Slow update guys. Sorry♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar [HIATUS]
Fiksi IlmiahBenci. Itu adalah suatu emosi yang kuat. Benci. Adalah sebagian dari rasa yang mungkin tak pernah tersampaikan. Aku 18, itu berarti bulan purnama milikku sudah ke-216 kali. Aku, Dinar, anak emas ibu.