***
Cerita kembali ke waktu normal.
Malam ini bulan purnama ke 216 milikku, itu berarti hari ini tepat ke 18 usiaku. Delapanbelas tahun lalu aku lahir kedunia ini. Biasanya setiap tahun Ayah akan menemuiku di balkon lantai dua rumah kami tengah malam, bersama-sama akan menatap bulan (yang jelas-jelas posisinya tidak akan pindah) tapi tetap menatapnya lamat-lamat, mengagumkan.
Ayah akan menepuk pundakku dan mengatakan, "Setahun lagi jatah umur kau berkurang, Jagoan," lalu kami bersama menghabiskan malam dengan tawa dan dua cangkir kopi buatan Ibuku tersayang, menyenangkan rasanya.
Malam ini, setelah kurang lebih setahun Ayahku pergi untuk selamanya, aku begitu merindukan sosoknya. Setidaknya, untuk pertama kalinya aku merindukan seseorang, itu hal yang wajar jika rinduku ini begitu jujur. Oh, ayolah, aku memang anak lelaki. Tapi ketahuilah, aku tidak memiliki rasa gengsi untuk sekedar merindu, terutama untuk Ayahku.
"Ada apa Dinar?" Sontak aku terkejut. Suara itu, Ayah? Apakah itu suara Ayah? Tidak Dinar, kau hanya mengigau. Mana mungkin Ayah disini, jelas-jelas dia sudah pergi untuk selamanya.
Aku kembali melamun, kembali menatap bulan yang bulatnya matang malam ini. Dan kedua kalinya aku terkejut, kali ini lebih dari suara, ada yang menepuk punggungku dari belakang. Membuatku yang terpesona oleh bulan kini berdiri mematung, membeku bersama dinginnya malam. Sungguh, lihatlah, Ayah ada disini dengan senyum khasnya membawakan dua cangkir kopi untukku (satu untuknya). Aku tidak bergurau.
Dia mendekatiku, dengan suara paraunya menyapaku hangat, "Tidak terasa sudah berkurang lagi setahun ya," katanya sambil merangkul pundak putranya ini. Air mataku mengalir begitu saja, pipiku basah oleh air mata rindu ini.
Aku balas memeluk Ayah, kali ini lebih erat, aku berbisik kepadanya dengan segala lemahku, "Ayah, aku rindu," dia tersenyum mendengarnya.
"Sudah waktunya, Jagoan. Seperti tahun-tahun biasanya, aku akan menceritakan sebuah kisah yang bukan sekedar ilusi dengan imaji tinggi, dengarkan baik-baik." Dia kemudian duduk dikursi panjang dekat pintu kamar, aku mengikutinya.
Ayah memulainya dengan berdehem kecil, menyingkirkan gatal yang entah gatal atau tidak ditenggorokannya itu, mulai bercerita.
"Suatu hari saat malam bulan purnama sepuluh ribu tahun yang lalu, lahirlah seorang manusia yang begitu cerdas dengan otak besarnya itu. Namanya, aku juga tidak tahu. Mari kita sebut dia Mosse, itu yang kakek kau ceritakan dulu padaku," Ayah berhenti sejenak memperbaiki posisi duduknya. Aku terus memperhatikannya. Sudah tradisi, setiap hari lahirku, aku akan selalu menunggu cerita-cerita seperti ini darinya.
"Dia tidak seperti keturunan manusia purba Dinar, sama sekali tidak. Dia begitu cerdas, tapi tidak pernah ingin memperlihatkan kecerdasannya pada orang lain. Dia tumbuh dengan pemahaman hidup yang baik. Mosse menciptakan berbagai teknologi luar biasa yang di zaman kita ini belum pernah ditemukan secara kasat mata bahkan. Lalu dia tinggal dimana? Aku juga tidak tahu, yang jelas keadaan sepuluh ribu tahun lalu di bumi adalah zaman primitif, manusia-manusia bipedal dengan otak hanya sekitar 750 hingga 900 cc. Jadi dia dan kecanggihannya kurasa mustahil ditemui di bumi,"
Aku mengangguk sambil mengingat-ingat pelajaran evolusi biologis yang cukup rumit jika dibanding dengan menghitung laju reaksi atau semacamnya. Ayah melanjutkan cerita.
"Diusianya yang ke-18, seperti usiamu sekarang, Mosse menciptakan alat paling luar biasa yang menjadi incaran semua orang saat itu, Chronos, begitulah nama alat berbentuk piring terbang mini itu. Diambil dari bahasa Yunani, "perjalanan waktu", entah darimana dia tahu istilah Chronos itu. Maka apa fungsi alat itu? Ya, untuk melintasi perjalanan waktu katanya."
"Dia menyempurnakan alat itu dipercobaan ke delapan-puluh-tiga-ribu-nya, saat usianya hampir 70. Dialah satu-satunya manusia yang bisa melintasi waktu menggunakan teknologi mesin yang mustahil bahkan untuk zaman ini. Dia berhasil datang ke kurang dari sepuluh ribu tahun kedepan. Ya, Dinar, zaman dimana kakek dari kakek kakekmu hidup. Kata Ayahku dulu, kakek dari kakeknya pernah bertemu dengannya dan mewariskan sebuah rahasia yang sekarang tersimpan di Skossel. Perlu kau tahu Dinar, Skossel adalah nama salah satu ruangan di universitas mu dimana Monte tinggal sekarang."
Aku mengingat sesuatu. Apa tadi Ayah mengatakan Monte? Maksud Ayah Profesor Monte? Aku jadi ingat, sudah hampir setahun aku tidak bertemu dengannya dan anaknya yang menyebalkan itu. Aku mungkin belum menceritakan bagaimana aku tahu gadis jurusan politik yang menyebalkan itu adalah anak Profesor Monte. Aku akan menceritakannya lain waktu, tidak sekarang. Tapi apakah Ayah benar-benar mengenalnya?
"Ah, ya, Monte itu temanku dulu," Ayah menjawabnya seakan dia tahu aku akan menanyakannya. Aku ber-oh pelan. Tapi apa hubungan Mosse dicerita Ayah dengan Skossel ruangan tempat tinggal Profesor Monte? Tidak mungkin. Ini hanya cerita rekaan yang bahkan aku tidak menyadari yang menceritakan kisah ini sudah menghilang tepat di detik berikutnya sebelum aku sempat menanyakannya.
Aku memanggil-manggil nama Ayah, sekali, sunyi sekali. Dua kali, hanya terdengar burung hantu yang lelah habis berburu sepertinya. Tiga kali, aku justru tersontak kaget, terbangun dari mimpi.
Tapi, apakah itu hanya mimpi? Lihat, aku bahkan tidur dikursi panjang tempat terakhir kali bersama Ayah. Dan di meja kecil itu bahkan ada dua cangkir bekas kopi tadi malam. Tidak mungkin jika itu hanya mimpi. Lelucon apa ini? Tunggu, sampai dimana cerita Ayah tadi malam? Skossel? Aku hanya butuh mencari tempat itu agar aku tahu bahwa mimpi itu benar-benar ada atau hanya imajiku, kan?
"Kalau begitu ini akan jadi menyenangkan, tugas berikutnya adalah Skossel Dinar," kataku lirih sambil mengepalkan tinju ke atas. Aku akan mencarinya.
***
Nantikan kelanjutannya good readers.... Read and vote please.... Thanks💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar [HIATUS]
Science FictionBenci. Itu adalah suatu emosi yang kuat. Benci. Adalah sebagian dari rasa yang mungkin tak pernah tersampaikan. Aku 18, itu berarti bulan purnama milikku sudah ke-216 kali. Aku, Dinar, anak emas ibu.