***
Masih saat usiaku 17.Ini adalah pagi pertamaku di universitas. Menurutku aneh, ini sungguh kali pertamanya aku disini, tapi sepertinya ada suatu kenangan yang tertinggal membekas di salah satu sudut otakku. Entahlah, aku tidak ingin memikirkannya untuk saat ini. Aku belum tahu jika nantinya disinilah bagian terpentingnya.
"Hei!" seseorang menepuk bahuku dari belakang.
"Apa? Siapa?" Aku lebih terkejut daripada penasaran. Siapa dia? Lihatlah perawakannya. Terlihat tua tapi tetap tertebak bahwa dulunya dia bertubuh tinggi kekar, kacamatanya menggantung mengkilap, kumis tipisnya memutih. Siapa dia yang tiba-tiba menyapaku? Sepertinya tidak asing.
"Jangan takut, aku profesor Monte, dosen besar sains disini. Mungkin kau pernah melihatku di acara televisi atau semacamnya,"
Oh ya, tentu saja. Dia adalah penemu favoritku setelah kakek dari kakekku. Dan dia dosen disini? Ya tuhan, mimpi apa aku semalam, aku bertemu dengannya hari ini.
"Kau, kau profesor Monte? Ya ampun, bagaimana aku tidak mengenalimu? Aku adalah penggemarmu," mataku membesar melihat penemu nomor satu di negeri ini berdiri tepat di depanku.
Dia justru terkekeh mendengarku mengatakan kalimat barusan.
"Oh ya? Aku tidak menyangka putranya Bram adalah penggemarku."
Aku reflek mundur. Darimana dia tahu nama kecil Ayahku? Selama ini semua orang hanya tau Ayahku dengan sebutan Made, nama khas orang-orang pulau Dewata. Hanya orang-orang tertentu yang tahu nama aslinya. Dan dia seorang profesor ternama mengetahuinya?
"Kau terkejut, nak? Jangan takut. Ayahmu adalah sahabat masa kecilku. Ibumu jahat sekali tidak pernah memberitahu bahwa aku adalah kerabatmu juga. Dan Ayahmu, aku tidak menyangka dia pergi secepat ini, apa ketujuh nyawanya sudah hilang?" Kali ini dia makin terkekeh. Apa tadi dia bilang? Ibuku juga mengenalnya? Ini mengejutkan.
"Lihatlah putranya ini, sudah besar sekali. Wajahmu sangat mirip dengan Bram, tubuh tinggi kurus, rambut keriting, eh, ikal secara makroskopis jika Ayahmu yang mengatakannya dulu pada rambutnya sendiri, dan bola mata hitam besar itu? Kau juga mewarisinya? Tak ku sangka, begitu melihat aku langsung mengenalinya. Kau di universitas ini pula? Apa kau ingin mengikuti jejak leluhurmu, nak? Menjadi ahli sains? Dan ya, siapa namamu?" Dia menyelidik, sorot matanya tajam tapi bersahabat.
"Aku? Eh, anu, tidak. Aku akan masuk jurusan politik. Namaku Dinar, salam kenal," aku menundukan kepala, mengingat bahwa aku akan masuk jurusan politik, bukan sains, itu membuat semua kesenangan ini berakhir.
"Oh ya? Kalau begitu kita tidak akan sering bertemu. Sepertinya bakat sains itu berakhir pada si Bram. Sampai jumpa lain waktu," dia pergi begitu saja, punggungnya hilang dibalik pintu, mukanya kecut tidak seperti saat pertama kali menyapaku tadi. Kenapa? Dia terlihat kecewa. Apa yang salah dari kata-kataku tadi?
Ah, sudahlah, Dinar. Ayo bergegas masuk kelas, ini pagi pertamamu.
***
Kelas berakhir saat jam makan siang. Aku duduk di kursi paling belakang bersender di pojok tembok. Aduh, kelas apa itu tadi? Isinya hanya, apa itu politik, bagaimana cara berpolitik, pentingnya politik, aku tidak bisa berfikir sama sekali. Lihatlah rambut keritingku (yang kata Ayah dulu dan profesor Monte tadi, ikal secara makroskopis) berantakan memikirkannya.
"Kenapa? Baru hari pertama sudah pusing begitu, benar-benar tidak pantas," wanita itu mengejekku, wanita yang tak ku sangka sedari tadi memperhatikanku. Apa masalahnya denganku?
Aku membalas tidak terima.
"Oi, tidak sopan sekali, apa orangtuamu tidak pernah mengajari sopan santun? Lagipula, siapa kau? Aku bahkan tidak mengenalmu,"
"Siapa aku? Siapa peduli, jangan menghina ilmu politik ya, aku tidak terima. Ini ilmu paling penting dalam negara, kau tahu?" Dia melotot padaku. Jelas-jelas dia tidak mengenalku, sebaliknya juga begitu. Seenaknya saja menceramahiku.
"Aku yakin kau sama sekali tidak tertarik dibidang ini. Kau hanya akan mengotori kelas dengan jam tangan bodoh milikmu itu. Lihat, arah jarum jamnya saja tidak pas," dia sambil menunjuk-nunjuk jam tangan dering hasil percobaan pertamaku tiga hari lalu.
Kali ini aku berdiri tepat didepannya, dia ikut berdiri melotot padaku, "Oi, asal kau tahu saja, jam ini teknologi termutakhir, dari bahan organik dan sedikit keberuntungan, baterainya saja dua kali lipat dari tegangan baterai biasa, sekitar tiga lebih tujuhbelas volt perbatangnya, jelas-jelas hanya aku yang punya," aku menunjukan padanya bagaimana cara kerja jamku yang belum sepenuhnya sempurna.
"Kau pikir itu hebat hah?" Dia berkacak pinggang, ditangan kanannya ada jam tangan dengan teknologi buatan Profesor Monte, jam Montepetra yang canggih.
Aku menelan ludah, apa dia ingin menantangku? Jelas-jelas jam itu hanya ada 2 di dunia, punyanya dan Profesor Monte yang ada di museum ujung negeri. Itu mengesankan.
Tapi aku Dinar, aku dan kebencianku akan mengalahkan kesombongannya.
"Apa? Hanya itu? Lagipula itu pasti beli kan? Lihat, milikku asli buatanku sendiri. Dan teknologi yang kupakai juga hasil dari keringatku, Dimetapetroreleum, tidak ada yang menyamai. Setidaknya jam kau itu ada duanya kan? Punyaku sama sekali tidak."
Skak, kali ini aku yakin akan menang. Tapi tidak, dia justru sudah pergi sebelum aku menyelesaikan kalimat barusan. Oh ya, sepertinya dia memang benar-benar menantangku. Hei, aku ini Dinar, putranya Bram. Akan kucari dia sampai dapat, akan kuhanguskan kesombongannya sampai ke akar, lihat saja nanti.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar [HIATUS]
Khoa học viễn tưởngBenci. Itu adalah suatu emosi yang kuat. Benci. Adalah sebagian dari rasa yang mungkin tak pernah tersampaikan. Aku 18, itu berarti bulan purnama milikku sudah ke-216 kali. Aku, Dinar, anak emas ibu.