SATU

476 16 5
                                    



Rintik hujan terus membasahi bumi. Seakan paham kesedihan yang dialami perempuan bertubuh tinggi yang tengah berdiam diri. Terkadang memang Tuhan yang paling mengerti apa-apa yang ciptaan-Nya inginkan. Seperti sekarang ini, ada seorang perempuan yang butuh derasnya hujan. Agar isaknya tak terdengar kemudian. Supaya dia tersadar bahwa semua bukanlah angan. Bahwa ini merupakan kenyataan.  Semoga bersamaan dengan derasnya hujan, segala kesedihan ikut terhapuskan. Dan, kebencian ikut larut dalam setiap tetesan. Hingga, yang tersisa hanyalah keikhlasan. Bukan lagi pemberontakan apalagi makian. Sebab, manusia yang sebenar-benarnya adalah yang mampu merelakan juga memaafkan.

Perempuan yang sedang patah itu menghela napas panjang. Kembali teringat kenangan-kenangan yang lalu. Dimana dia pernah merasa sangat bahagia. Dimana ia pernah menjadi alasan seseorang tertawa. Bercanda. Berdua. Saat-saat Semesta merestui mereka. Mungkin juga ikut turut bergembira. Sehidup semati; katanya.

Tapi kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dia yang berjanji setia selamanya kini pergi meninggalkan. Katanya tidak akan pernah bisa hidup tanpanya, kini justru mencampakkan. Meninggalkan luka. Terkadang cinta memang selucu itu. Orang yang tadinya amat dicinta bisa menjadi luka. Yang tadinya mendewakan ternyata dapat mengecewakan.

Bagaimana mungkin lelaki yang sudah bersama selama lima tahun itu kini hanya sebatas orang asing? Bagaimana bisa lelaki yang ia percayai sepenuh hati berani menyakiti? Memang benar kiranya yang orang-orang yang mengatakan; seseorang yang mencintai paling banyak dia juga yang akan mendapatkan luka terbanyak.

Perempuan patah hati itu bangkit dan berjalan menuju cafe yang ada di dekatnya. Memasuki cafe dengan keadaan basah kuyup. Dengan penampilan amat kacau. Persis seperti hatinya yang sudah patah. Berserakan. Berantakkan. Dia lalu duduk dan menatap ke luar jendela. Hujan semakin deras. Wajahnya yang pucat serta maskaranya yang luntur, membuat dirinya semakin terlihat menyedihkan. Orang-orang mulai menatap, ingin tahu. Namun, perempuan patah hati itu sama sekali tidak peduli. Dia bahkan tidak lagi bisa merasakan dinginnya hujan. Ia sudah tak mampu lagi mencium aroma rintik hujan kesukaannya. Dia mati rasa.

Seseorang melangkah menuju perempuan patah hati itu kemudian meletakkan secangkir kopi panas di sana. "Sudah, jangan menangis lagi. Lelaki seperti dia tidak pantas kau tangisi. Patahmu itu dari Tuhan. Dia memberimu patah sebab Dia tahu kamu perempuan kuat. Dia sengaja menanam luka sebab Dia tahu kamu perempuan hebat. Karena kamu perempuan kuat dan hebat itulah, Tuhan tak ingin kamu jatuh hati pada lelaki yang salah. Bersyukurlah, karena kamu sudah dijemput pulang. Agar kamu tidak lagi tersesat, meski harus terluka." Lalu lelaki itu pergi. Meninggalkan perempuan yang sedang patah itu tercengang. Ia mulai merasa tenang oleh kata-kata menenangkan dari lelaki asing yang juga memberinya secangkir kopi panas di hadapannya.

Perempuan yang patah itu menyesap kopi panas yang diberikan lelaki asing tadi dengan perlahan. Benar, aku bukan perempuan lemah. Aku perempuan kuat dan hebat. Aku tidak akan terus bersedih karena lelaki jahat itu. Gumam perempuan itu dalam hati. Menyemangati diri.

Perempuan kuat itu bernama Anita.

__

Anita berjalan lunglai menuju kamarnya, kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang. Dia menenggelamkan wajahnya pada bantal lusuhnya. Hari yang melelahkan. Seketika terbayang kembali wajah mantan pacarnya yang tengah bermesraan di depan matanya sendiri. Lelaki itu dengan wajah bahagianya memeluk dan mencium perempuan selain dirinya. Sejujurnya, dia belum pernah – selama lima tahun bersama – melihat lelakinya sebegitu bahagianya. Apa mungkin aku bukanlah bahagianya? Pikir Anita. Maka, jika memang begitu. Jika memang bukan aku bahagiamu, dan jika memang benar dia bahagiamu, aku akan merelakanmu. Seutuhnya. Bukan apa-apa, tapi aku tidak ingin menjadi egois. Karena cinta adalah membahagiakan. Berdua mencari dan menemukan bahagia itu bersama. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah yang mampu memperbaiki yang salah. Bukan mencari kebahagiaan lain yang terlihat lebih indah.

ANALOGY #1 : Merayakan Kehilangan [EXTENDED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang