LIMA

69 2 0
                                    

Arlin melangkahkan kakinya ringan menuju cafe Analogy bersama dengan Tita. Hari ini mereka sibuk sekali mengurus satu dan banyak hal. Karena, dalam waktu dekat akan segera diadakan acara perihal beasiswa yang diadakan oleh kantor. Untuk itu, Arlin menjadi sangat sibuk membantu Tita mengurus segala yang harus diurus.

Ditengah-tengah kesibukkan mereka, tiba-tiba saja mereka merasa lapar dan butuh asupan kafein. Jadilah mereka duduk manis di cafe tercinta. Berbincang perihal apa saja yang mereka sukai dan ditemani dengan segelas kopi dingin beserta croissant cokelat.

Croissant adalah sejenis roti dengan adonan berlapis atau biasa disebut juga flaky bread yang berasal dari Perancis. Disebut croissant karena bentuknya yang mirip dengan bulan sabit. Di Perancis sendiri croissant biasa dimakan sebagai hidangan sarapan dengan diolesi mentega dan selai jeruk atau orange marmalade. Tapi di sini, memakan croissant tidak memandang waktu. entah pada jam sarapan atau jam-jam sore seperti ini pun croissant tetap lezat disantap dengan kopi tentunya.

"Gimana sama Kak Damar, Kak?" tanya Arlin memecah keheningan diantara mereka berdua.

"Gimana apanya?" jawab Tita seadanya.

"Masih belum terasa juga?"

"Apanya, sih?" tanya Tita yang mulai kesal dengan Arlin yang bertele-tele pada ucapannya.

"Cintanya Kak Damar. Masih belum terasa juga?"

"Idih, apa sih. Jangan ikut-ikut kayak yang lain deh ngeledekin aku sama Damar. Lagipula, aku sama dia itu cuma teman. Teman lama. Jadi, nggak mungkinlah," Tita mengeeluarkan argumen pembelaan dirinya. Kemudian dia meminum es kopinya pelan.

Arlin mengangguk. "Memangnya, kalau teman dekat itu nggak mungkin saling jatuh cinta, ya?"

Tita melongo. Benar juga. Bukankah memang awal dari semua hubungan percintaan dimulai dari hubungan pertemanan terlebih dahulu?

--

Ketika Arlin dan Tita melangkah melewati tangga untuk kembali ke kantor mereka, tiba-tiba ponsel Arlin berdering. Arlin mengambil ponsel berwarna silver miliknya itu dari saku kemudian memandangi nama yang tertera pada layarnya.

"Kakak duluan aja ya, aku mau jawab panggilan ini dulu," Arlin mengangkat tangan yang mengenggam ponselnya dan menunjukkannya pada Tita sekilas. Sementara Tita hanya mengangguk lalu tersenyum singkat dan kembali berjalan menuju mejanya yang sudah tidak terlalu jauh dari tempat dia berdiri.

Arlin berjalan pelan menuju toilet dan segera menjawab panggilan telepon dari seseorang yang sepertinya sangat penting bagi Arlin itu.

"Halo, Krisna."

"Hai, Lin."

"Kamu ngapain telepon sih? Nanti kalau Anita tahu, gimana?"

Terdengar suara tertawa dari arah seberang sana. "Maaf ya, aku tiba-tiba kangen kamu."

Arlin tersenyum. "Kok udah kangen lagi aja, sih. Kemarin kan baru ketemu."

"Nanti pulangnya aku jemput, ya?"

Arlin menoleh pada pintu kamar mandi yang tiba-tiba terbuka. Matanya terbelalak. Tiba-tiba saja lidahnya menjadi kelu.

"Lin," suara Anita melemah. Tubuhnya menjadi gemetar luar biasa.

"Lin? Kok diem sih? Kamu baik-baik aja, kan?" Arlin segera mematikan ponselnya. Kini pusat perhatiannya tertuju pada perempuan yang berada di depannya. Perempuan yang selalu ia sayangi sepenuh hati. Perempuan yang selalu ingin ia lindungi sampai mati.

ANALOGY #1 : Merayakan Kehilangan [EXTENDED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang