EMPAT

89 3 4
                                    

Setiap manusia pasti pernah merasakan putus asa dalam hidupnya. Merasa berada pada tempat terbawah dalam tiap masa hidupnya. Mengira bahwa dirinya tak berguna. Tak memiliki kemampuan yang dapat bermakna. Maka, tak apa apabila pernah sempat merasa putus asa. Namun, jangan sampai keputusasaan itu malah membuat lemah. Jadikan keputusasaan itu sebagai acuan untuk tetap berpacu.

Ya, seharusnya begitu. Tetapi lain halnya dengan Anita.

Anita sedang dalam masa-masa tersulitnya. Dia merasa bahwa dirinya tidak berguna. Setiap pekerjaan yang diberikan, tidak bisa ia selesaikan dengan semestinya. Dan dia merasa bersalah terhadap semua orang yang telah memercayainya. Kenyataan bahwa ternyata dirinya tak sehebat kelihatannya. Bahwa keahliannya tidaklah seberapa.

Hal inilah yang menyebabkan Anita kehilangan kepercayaan dirinya.

Pasalnya, setiap pekerjaan yang diberikan padanya, seperti membuat poster atau hal lainnya, dia tak pernah melakukannya dengan benar. Dengan sesuai seperti apa yang diinginkan.

Meski dirinya tak pernah dikeluhkan perihal hasil pekerjaannya, tetapi Anita tahu, bahwa hasil pekerjaannya tak pernah memuaskan. Terlalu biasa-biasa saja.

Anita kesal pada dirinya sendiri. Kesal karena kemampuan yang ia miliki begitu banyak, tetapi tak ada satupun yang paling menonjol.

Anita benci pada dirinya, dia memiliki tekad yang kuat dan selalu bersungguh ketika melakukan apapun. Namun, semakin ia bersungguh melakukannya, maka akan semakin berantakan. Terasa begitu sia-sia, bukan?

Mungkin hal tersebutlah yang membuat dirinya dipindahkan ke tim lain. Mungkin jika Anita terus menetap pada tim desain, Anita akan semakin mengacaukan.

Dan, disinilah ia, dipindahkan ke tim marketing. Dengan kata lain, satu tim dengan Arlin.

"Nit," Lelaki berkacamata menghampiri Anita yang masih asyik bercengkrama dengan Putri. "Ngapain masih di situ? Ayo pindah ke sini." Lanjutnya lagi dan menyuruh Anita agar bergegas memindahkan barang-barangnya ke meja baru yang sudah disediakan.

Sebetulnya, itu bukan meja baru, melainkan meja yang dulunya pernah ditempati orang yang sepertinya cukup berperan di sana. Dan entah sebab masalah apa, orang itu mengundurkan diri. Dikarenakan pekerjaan yang semakin membludak, maka Anita diminta untuk ikut membantu sedikit.

Sebetulnya, tidak masalah jika dipindahkan. Apalagi Anita memang pekerja keras. Meski hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Paling tidak, dia sudah berusaha sekuat yang ia bisa. Bukankah segala sesuatunya dinilai dari prosesnya?

Hanya saja, Anita sudah terlanjur menyukai tim sebelumnya. Ditambah, dia sudah sangat akrab dengan Putri.

"Yah, kok pindah, Nit?" ujar Putri ketika melihat Anita tengah membereskan barang-barang bawaannya untuk dimasukkan ke dalam tas berwarna merah jambu rajut milik Anita.

"Iya nih, Kak, katanya butuh aku untuk bantu-bantu di sana," jawab Anita sambil tersenyum manis.

"Duduk dulu deh, bentar."

Anita kemudian duduk di kursi yang sebentar lagi tak akan pernah ia duduki lagi. "Kenapa, Kak?"

"Kamu jangan mudah nyerah ya, sebetulnya kemampuanmu sudah ada, hanya saja masih butuh beberapa kali asahan agar bisa semakin tajam hasilnya. Terkadang apa yang kita lihat menarik, belum tentu menjadi menarik pula bagi mata oranglain. Intinya, jadikan rasa putus asamu itu sebagai acuan untuk kamu lebih mampu berpacu."

Putri mengakhiri wejangannya dengan memberikan Anita segelas jus kiwi dingin. "Nih, buatmu. Supaya selalu semangat di lingkup barumu."

"Makasih banyak ya,Kak, atas nasihat berharganya dan jus kiwinya. Tapi, aku nggak suka kiwi, kayaknya."

ANALOGY #1 : Merayakan Kehilangan [EXTENDED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang