TIGA

93 4 0
                                    

"Juga apa ?" tanya Tita dengan raut wajah yang terlihat bingung pada ucapan Damar.
"Aku juga bersedia sakit untukmu," Damar terdiam. Seandainya dia berani untuk mengatakannya langsung kepada perempuan yang ia sukai itu. Kira-kira bagaimana ya reaksinya? Sudah pasti dia akan dipukuli oleh perempuan itu. Damar tersenyum membayangkan hal gila itu dibenaknya. 

"Heh! Ditanya malah cengar cengir sendiri," ucap Tita kesal sambil menyubit pelan lengan Damar. 

Tawa Damar makin menjadi. "Nggak kok, nggak, kelupaan tadi mau ngomong apaan," ujar Damar beralasan. 

"Udah tua sih, jadi gitu. Yaudah, mendingan balik ke kantor,yuk," ajak Tita sambil menarik paksa lengan Damar. Sementara Damar hanya tersenyum kegirangan. 

Tita melepaskan lengan Damar. Dan berlalu ke toilet. "Duluan aja, mau ke toilet dulu!" Teriak Tita dari dalam toilet. "Ah, aku tungguin aja deh, ngeri ilang nanti," ledek Damar dari arah luar. 

"Terserah dah,"

"Bener nih, terserah abang? Ikutan boleh juga dong?" 

"Boleh, masuk aja. Paling nggak bisa keluar lagi," cetus Tita kesal. 

Damar hanya tertawa mendengar reaksi Tita yang sudah sangat ia hapal itu. Bagaimana tidak? Dia memendam perasaan pada perempuan berkepala batu itu sudah dari dua tahun yang lalu. Damar ingat betul awal pertemuannya dengan Tita dua tahun lalu, tepat di Analogy. Pada saat itu, dia merasa bahwa seluruh dunianya tertuju pada perempuan itu. Rasanya seperti kalian menemukan sesuatu yang tepat. Seperti merasa 'klik'. Yah, kurang lebih seperti itulah. 

Damar dan Tita berada pada tim yang berbeda, sehingga ruangan mereka pun berbeda pula. Damar berada di tim media sosial yang ruangan kerjanya terletak di atas ruangan Tita. Kemudian mereka berpapasan di Analogy dan menjadi dekat hingga sekarang. Sampai, keduanya merasa sudah saling terbiasa. Dan, memang cinta dapat tumbuh dari hal yang membiasakan. Meski, Tita yang sudah terbiasa dengan Damar tidak merasakan hal yang serupa dengan Damar. Meski, cinta memang tumbuh dari hal yang membiasakan, tak ada jaminan bahwa cinta yang dimiliki harus terbalaskan. 

Mereka menjadi sangat dekat karena kesamaan hobi dan memang Tita mudah sekali akrab dengan oranglain. Kepribadiannya yang supel menjadikannya makin menarik. Terkhusus di mata Damar.

Sedangkan Damar, adalah lelaki bertubuh gempal tetapi memiliki wajah yang tampan. Kulitnya yang putih, dan bibirnya yang berwarna merah segar memberikan nilai lebih untuknya. Terlebih, dia adalah tipe orang yang humoris. Dia dapat membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menjadi nyaman dengan kehadirannya. Maka, ketika dia tidak hadir dalam suatu acara atau hanya sekadar untuk kumpul-kumpul, suasana tak lagi begitu menyenangkan.

--

"Ta, kok diem aja?" tanya Damar yang menyadari daritadi hanya dia yang berbicara.

Tita menoleh sejenak, kemudian tersenyum. Pandangannya menerawang. "Aku jadi ingat, pertama kali aku bertemu dengan Syawal juga disini," suaranya parau dengan pandangan lurus Ke depan.

Anita dan Arlin saling berpandangan. Tidak tahu ingin menanggapi apa. Takut salah biacara nantinya. Akhirnya mereka hanya terdiam. Mendengarkan dengan saksama.

Benar, Anita, Arlin, Damar dan Tita sedang rehat sejenak di Cafe Analogy. Sambil melepas penat, juga mereka ingin menjadi lebih dekat satu sama lain. 

Salah satu tangan Tita menopang dagu. Kemudian mulai bercerita.

"Waktu itu, dia duduk di sana," dia berhenti sejenak dan menunjuk salah satu meja di depannya. Sontak Anita dan Arlin mengikuti arah yang ditunjuk oleh Tita.

ANALOGY #1 : Merayakan Kehilangan [EXTENDED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang