PROLOG

182K 6.6K 48
                                    

Mata Vania kecil masih terlihat sembab akibat uraian air mata. Hidungnya yang mungil pun berubah menjadi merah seperti buah leci. Tetesan air mata masih mengalir walaupun tidak sederas sebelumnya. Mata cokelat nya masih memandangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh dari sepeda karena ulah nakal dari anak kecil yang Vania sendiri tidak tau namanya itu.
Vania juga heran, kenapa anak lelaki itu selalu menggangu nya, sejak kepindahan nya itu ke kawasan komplek perumahan Vania, hari hari Vania hanya diisi dengan kekesalan karena sering dijaili oleh anak lelaki itu, bahkan perbuatan nya kali ini sangat kelewatan. Anak nakal itu telah membuat lutut Vania berdarah seperti ini.

Vania melipat kedua lututnya, lantas menenggelamkan wajah mungil nan cantik itu diantara kedua lututnya. Vania benar-benar sedih, bagaimana dia bisa pulang dengan keadaan lutut yang terasa sakit seperti ini? Bahkan untuk berjalan pun susah. Dan hanya menangis lah yang bisa Vania lakukan untuk anak gadis seusia nya.

Disisi lain, seorang anak laki-laki yang sedari tadi mengawasi Vania dengan bersembunyi di balik pohon besar terenyuh hatinya. Dia benar-benar merasa begitu bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Vania. Tidak seharusnya ia membuat Vania menangi seperti ini, bahkan membuat lututnya berdarah.

Langkahnya terlihat gontai berjalan kearah Vania yang tengah menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Malu! Itulah yang dirasakan anak lelaki itu saat ini. Tapi bagaimana pun dia harus minta maaf pada Vania.

Anak lelaki itu berjongkok di hadapan Vania, rintihan tangis Vania masih terdengar jelas di telinganya. Dan itu semua semakin membuat anak lelaki itu terjerumus pada perasaan bersalah yang amat mendalam. Anak lelaki itu masih menatap sendu Vania, dan akhirnya setelah cukup lama berdiam diri, akhirnya anak lelaki itu memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya.

"Aku minta maaf," lirih Anak lelaki itu. Tiba-tiba Vania menghentikan tangisnya, dia begitu familiar dengan suara itu. Vania mendongakan wajahnya, begitu terkejut nya Vania ketika ia melihaf anak lelaki yang telah membuat nya terjatuh tadi sedang berjongkok dihadapan nya.

"Kamu? Ngapain kamu disini? Kamu mau dorong Vania lagi sampe jatuh lagi?" Emosi Vania kecil tidak terkontrol, Vania begitu gedek dengan anak lelaki yang ada dihadapan nya saat ini.

"Nggak. Aku cuma..." suara anak lelaki itu memelan. Rasanya sangat susah untuk mengucapkan kata itu pada Vania.

"Cuma apa? Mau bikin Vania nangis lagi?" Sambar Vania dengan berurai air mata. Anak laki-laki itu semakin merasa bersalah.

"Aku.. aku cuma mau minta maaf sama kamu," ucap anak lelaki berumur kira-kira 3 tahun lebih tua darinya itu dengan wajah ia tundukan tidak berani menatap Vania.

Vania memutar bola mata jengah, Vania tidak mau menerima permintaan maaf anak lelaki itu.

"Kaki Vania sakit, dan ini gara-gara kamu, Vania nggak mau maafin anak nakal kaya kamu!" Bentak Vania, Vania beringsut, lantas berdiri sebisa mungkin dari posisi duduknya dan mulai menuntun sepeda nya menjauh dari anak laki-laki itu.

Belum sempat lima langkah, anak lelaki itu menghalangi langkah Vania, "Aku mohon, maafin aku."

"Sampai kapanpun Vania nggak mau maafin anak nakal kaya kamu! Vania mohon sama kamu, mulai sekarang jangan gangguin Vania lagi! Vania ingin hidup tenang tanpa di gangguin anak nakal kaya kamu!" Vania mendorong tubuh anak lelaki itu agar tidak menghalangi jalannya. Vania lantas melanjutkan jalannya. Disisi lain, anak lelaki itu hanya mampu terpaku, ia masih merasa bersalah, karena baru kali ini ia membuat seorang perempuan nangis. Dan itu sangat nencambuk dirinya, bahkan orangtua nya pun selalu mengajari nya agar tidak membuat seorang perempuan menangis, tapi apa yang ia perbuat? Ia membuat Vania menangis dan itu disengaja.

"Maafin aku, aku benar-benar minta maaf karena udah bikin kamu nangis, Vania." Lirih anak lelaki yang di ketahui bernama Ilham itu.

Our Destiny [You're Perfect Pilot ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang