JARUM jam menunjukkan pukul satu lewat dua puluh menit. Panji memanjangkan leher; memeriksa keadaan kubikel di sebelahnya. Tidak ada tanda-tanda pergerakan sama sekali. Farengga Halim masih tampak sibuk menekuri layar komputernya. Entah apa yang terpampang di sana, tetapi garis-garis melintang di dahi laki-laki itu meyakinkan Panji bahwa rekan kerjanya tengah dihadapkan dengan situasi yang tidak mudah.
"Ga," seru Panji, "ke bawah, yuk."
Lihat, alih-alih mengangkat wajah; membalas tatap, Rengga hanya berujar, "Masih banyak kerjaan."
"Nggak lama. Sebatang doang." Tak tahan lagi, Panji melepas headphone, lantas bergegas memutari beberapa kubikel, dan berhenti tepat di sisi kanan meja Rengga. Jemarinya mengetuk tak sabar. Ketika dia ingin kembali memaksa, sorotnya lebih dulu terpaku ke layar komputer. "Kamu mau ambil cuti?"
Rengga mendesah pasrah. Niat lelaki itu, tidak ada seorang pun mengetahui, setidaknya sampai surat pengajuan cutinya disetujui sang atasan. Bukan apa-apa, dia hanya lebih suka seperti itu. Malah, menurutnya, akan jauh lebih baik bila segenap rekan kerjanya baru mendengar kabar setelah dirinya meninggalkan kota ini. Dia tak suka keramaian. Pun, tak suka dihujani pertanyaan demi pertanyaan. Mengganggu. Memaksa indra pendengarannya menampung terlalu banyak hal yang tidak seharusnya diterima.
"Pulang kampung?" Panji jelas tak bisa membaca gelagat. Tanpa diminta, laki-laki itu menarik kursi kosong di kubikel sebelah. Menyamankan diri, kemudian kembali mengajukan pertanyaan, "Atau, mau ke Jakarta? Nemuin gebetan?"
Mendengar kata terakhir, mau tak mau Rengga terkekeh pelan. "Kira-kira cutiku disetujui enggak, ya? Tahun ini aku sudah tambah jatah izin. Lebaran tempo hari." Beberapa detik berlalu, tak jua terdengar jawaban. Memutuskan berbalik, Rengga mendapati lawan bicaranya tengah menatap lurus ke ruangan atasan mereka. "Ngapain?" bisiknya.
"Pak Bos ada di ruangan. Coba aja tanya langsung."
"Nggak enak," tutur Rengga.
"Kerjaan ada yang belum beres?"
"Bukan begitu...." Rengga bersandar lelah di punggung kursi putarnya. Sekilas, pandangannya menyapu ruangan. Bukan hal aneh, sebenarnya, selepas jam makan siang keadaan memang selalu lengang seperti ini. Dua tahun bekerja di Dinas Pariwisata Kalimantan Timur membuat Rengga memahami sistem yang dianut. Kantor tampak padat sebelum apel pagi dimulai. Sesudahnya, berangsur berkurang. Kemudian, seiring berjalannya waktu semakin menipis, yang mana kembali ramai kala mendekati jam pulang; pukul empat sore. "Pekerjaan yang sifatnya urgen sudah kuselesaikan. Sisanya ... bisa menunggu," terang lelaki itu.
"Nah, ajukan aja! Bos enggak akan keberatan kalau alasanmu masuk akal. Lagian, masa iya Operator Komputer Kepegawaian yang biasa bantu mengajukan cuti nggak boleh cuti?" seloroh Panji.
Kalimat berapi-api rekan kerjanya, tidak langsung menyulut semangat Rengga. Lelaki itu sibuk menguras otak. Dirasa cukup, barulah dia meluncurkan sepotong kata, "Oke." Kemudian, Rengga kembali menegakkan punggung. "Ke bawah aja dulu. Selesai ini," dagu laki-laki itu mengedik ke layar komputer, "aku susul."
Panji mengangguk. Namun, sebelum berlalu, dia bertanya lagi, "Mau ke mana, sih, Ga? Jogja atau Jakarta?"
Rengga tidak menggubris. Perhatiannya sepenuhnya tertuju pada deretan kalimat yang tengah diketiknya. Selain itu, dalam hati lelaki itu tak hentinya berdoa, berharap sang atasan mempermudah pengajuannya. Dia benar-benar butuh mengasingkan diri sejenak dari aktivitas sehari-hari. Dua tahun bekerja tanpa pernah mengambil haknya sebagai pegawai, selain izin tiga hari di setiap idulfitri, membuatnya amat suntuk. Rengga membutuhkan suasana baru, pun merindukan kampung halamannya. Rindu berada di tengah keluarganya. Rindu masakan ibunya. Rindu menemani ayahnya berbincang di taman belakang rumah, atau sekadar memperhatikan pria versi dirinya kala tua nanti membolak-balik lembar koran lokal.
Pun, di luar semua itu ... Rengga merindukan sang gadis. Seseorang yang berhasil membuatnya jatuh hati hanya dalam satu kali pertemuan. Seseorang yang tidak melakukan apa pun, selain mengajaknya berbincang singkat, lalu memberinya sesuatu; sebuah novel, buah karya gadis itu—yang membuat Rengga tergila-gila semakin dalam. Dia hanyut dalam buaian kata-kata di setiap lembar. Mabuk seorang diri.
Baiklah, Rengga membulatkan tekad. Dia akan mempergunakan cuti tahunannya sebaik mungkin. Mungkin sekitar empat atau lima hari di Yogyakarta, menghabiskan waktu bersama orangtuanya. Sisanya, akan dia manfaatkan untuk berlibur di Jakarta. Liburan membalut kerinduan. Harapannya, semoga saja sang gadis tidak keberatan menemani.
Iya, semoga saja, Rengga membatin.
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU LATELY (Ledwin Series #3) - [ON HOLD]
ChickLitTidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa cinta. Yang ada hanyalah mereka yang berusaha tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya terluka didekap kesepian. * Ini adalah sebuah kisah cinta biasa. Tentang seorang gadis yang dicintai banyak orang. I...